11 Des 2008

Prof. Anita Lie: Menapaki Jalur Spiritualitas Guru

Suatu ketika, seorang muda meminta saran mengenai bidang studi atau karir yang paling baik untuk ditekuni. Lantas, seorang guru perempuan mendorong orang muda itu untuk mengingat dan menggali impian masa kecilnya.

GURU perempuan itu adalah Anita Lie. Seorang pakar pendidikan dari Kota Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur yang pada 16 Februari 2008, dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Kurikulum Pendidikan di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pencapaian gelar terdidik dalam dunia akademik ini, tak lepas dari masa kecilnya. “Pencapaian ini adalah satu titik di tengah perjalanan saya menggapai impian masa kecil,” perempuan kelahiran Surabaya, 1 Juni 1964 ini berujar.

Anita --panggilannya-- semasa kanak-kanak paling gemar bermain sekolah-sekolahan. Anita kecil kerap didapuk peran sebagai guru. Tak disangka, mimpinya terajut nyata. Anita menapaki perjalanan karir, profesi dan panggilan sebagai seorang guru. Sebuah pilihan yang tak biasa dalam keluarga besarnya. Ia satu-satunya yang membuat pilihan itu.

Tempat sakral
Menjadi guru, kata Anita, adalah suatu penjelajahan dan perjalanan emosional, intelektual, dan spiritual. Guru mengandung makna yang luas. Dalam bahasa Sansekerta, guru, lebih dari seorang pengajar. Guru adalah juga seorang ahli, konselor, sahabat, pendamping dan pemimpin spiritual. Sebagai kata benda, guru berarti tempat sakral ilmu pengetahuan. Sebagai kata sifat, guru berarti berbobot karena ilmu pengetahuan dan kearifan spiritual. Guru menggambarkan suatu metafora peralihan dari kegelapan menuju terang. Suku kata ‘gu’ berarti kegelapan dan ‘ru’ berarti terang. “Jadi, guru bermakna membebaskan dari kegelapan, karena ketaktahuan dan ketaksadaran,” papar umat Paroki Gembala Yang Baik Surabaya saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menyitir novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Anita mengatakan, guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka, sehingga kita pandai membaca dan menghitung, tak akan putus-putus pahalanya hingga akhir hayatnya. Dan, tak hanya itu yang dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita.
Belenggu pendidikan

Satu permasalahan mendasar sistem pendidikan nasional, menurut ibu satu anak ini, adalah dehumanisasi pendidikan. Pendidikan seharusnya menghormati dan menghargai martabat manusia dengan segala hak asasinya. Peserta didik harus tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subjek melalui proses pendidikan. “Tapi, yang sedang terjadi justru sebaliknya. Ada terlalu banyak contoh yang menunjukkan, betapa peserta didik sudah diperlakukan sebagai objek demi kepentingan ideologi, politik, industri, dan bisnis,” paparnya kritis.

Ironisnya, guru tak mampu mengembangkan kesadaran dan menghentikan gejala dehumanisasi ini dan membebaskan peserta didik dari kegelapan. Karena, para guru sendiri juga terjebak sebagai objek dalam sistem pendidikan nasional. Anita pun membeberkan persoalan yang membelenggu guru. Pertama, dengan gaji dan tunjangan yang tak memadai, guru menjadi sibuk mencari penghasilan tambahan, sehingga mengabaikan tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Kedua, dengan jam mengajar yang panjang dan tugas administratif yang membebani, guru tak punya waktu mengembangkan diri. Ketiga, sebagai objek dalam sistem pendidikan nasional, membuat sebagian guru tak mampu mengelola emosi negatif, sehingga harus mengumpat di kelas atau memperlakukan peserta didik dengan kasar. Keempat, sebagian guru melakukan pelanggaran etika sebagai pendidik dengan memberikan les privat bagi peserta didik. Bahkan, membocorkan soal ulangan, menjual buku-buku ajar dengan berharap mendapat komisi, ikut terlibat dalam tindak manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah. Kelima, belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional, dan kultural, membuat guru kehilangan identitas dan integritas. “Semua itu membuat pekerjaan sebagai guru tak lagi dilandasi spiritualitas profesi dan tak menjadi bagian dari perjalanan kemanusiaan,” tegas Anita.

Budaya ketakutan
Selain itu, menurut Anita, dunia pendidikan juga telah dibelenggu dan beroperasi dalam budaya ketakutan. Ketakutan terhadap sistem dengan segala perangkatnya. Takut pada kekuasaan lembaga yang menggelar evaluasi dengan Ujian Nasional. Takut pada program sertifikasi guru. Takut pada kepala sekolah. “Ketakutan ini telah menghambat guru menjadi dirinya sendiri secara utuh,” tegasnya. Lebih jauh lagi, keterbelengguan sistem dan ketakutan pada kemiskinan, juga membatasi guru untuk menggali, menjelajahi, dan menemukan nilai-nilai kebenaran dalam ilmu pengetahuan.

Ketakutan ini juga berimbas pada peserta didik. Peserta didik takut pada ulangan dan ujian, takut pada hukuman, takut menjadi bahan cemooh teman-teman sekelas, dan takut tidak naik kelas. Ketakutan-ketakutan ini telah memisahkan guru dari peserta didik.

Sebagai seorang guru, ada beragam cara yang dipakai Anita untuk mengurai ketakutan itu. Ia mencoba mengembangkan metodologi dan teknik mengajar. Ia mencoba dan bermain-main dengan cooperative learning, multiple intelligences, learning styles, dan sebagainya. Ia berharap, dengan beragam metode itu, dapat menjadi senjata dan tameng, agar tampak terampil dan kompeten di depan kelas dan sesama rekan guru. Perangkat-perangkat itu pun, ia bagikan pada sesama guru di acara-acara pelatihan. “Namun, setelah makin lama masuk dalam perjalanan sebagai guru, saya melihat, bahwa betapa pun pentingnya metode dan teknik mengajar, perangkat adalah tetap perangkat. Guru harus menggunakan perangkat bukan untuk menutupi ketakutan, tapi sebagai jembatan untuk menyapa dan membuka hati setiap peserta didik,” ujarnya.

Bagi Anita, pengalaman menguraikan ketakutan adalah bagian dari perjalanan spiritual seorang guru. Banyak tradisi spiritual berupaya mengatasi dampak ketakutan, termasuk agama. Seruan ‘Jangan takut!’, ada dalam berbagai agama. “Ajaran berbagai agama mengajak untuk mengatasi ketakutan dengan satu harapan. Lepas dari kehancuran dan mendapatkan berkat ketika perjumpaan dengan manusia lain tak mengancam, tapi memperkaya pekerjaan dan kehidupan,” imbuhnya.

Guru sejati
Meniru ungkapan Driyarkara, Anita mengatakan, guru bukan buruh. Menjadi guru sejati merupakan panggilan hati. Bagi seorang guru sejati, tugas utamanya adalah membantu anak didik berkembang menjadi manusia yang lebih utuh. Dia dipanggil untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Betapa pun pergumulan memperjuangkan tingkat kesejahteraan yang layak bagi guru, yang membedakan guru sejati dengan yang tidak, adalah cara memaknai profesi keguruannya. Yang satu menjalani sebagai panggilan hidup, sedangkan yang lain melakukan pekerjaan untuk mencari nafkah. “Seorang guru sejati, adalah yang membebaskan peserta didik dari kegelapan dan mengarahkan peserta didik menemukan guru sejati yang berada dalam dirinya sendiri,” pungkas Anita.

20 Nov 2008

Beragama secara Kritis

Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2008
Tebal : 500 halaman

FU adalah bilangan tak berwujud dan fu bukan satu atau nol. Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang menuturkan kisah ini. Ia memperoleh formula aneh itu saat berayun di sebuah tebing. Yuda terobsesi memecahkan rumus yang diciptakannya sendiri. Rumus fu memang bukan logika­ ma­tematika.


Pencarian fu, menurut penulis novel ini, Ayu Utami, adalah pencarian spiritual. Pen­carian yang menuntun Yuda berte­mu dengan Parang Jati, mahasiswa geologi Institut Teknologi Bandung dari Sewugu­nung. Di kaki Watugunung, pinggir pantai Laut Selatan Jawa Tengah. Jati seorang yang cerdas dan unik. Ia memiliki adik bernama Kupukupu. Karena kemiskinan, Kupukupu menjelma menjadi seorang penganut agama yang radikal, yang menegakkan keyakinan agama dengan pedang. Ia menganggap upacara sesaji dan kepercayaan pada Nyi Roro Kidul adalah musyrik. Namun, Jati justru mendukung sesajen, takhayul, dan berbagai mitos yang diyakini orang-orang desa. Itulah sengkarut peristiwa dalam novel ini yang mengambil seting waktu 1998-2001.

Lewat bentrokan kedua tokoh itu, Ayu Utami menyusupkan kritik terhadap monoteisme. Ideologi Kupukupu memicu kekacauan dan kekerasan di Sewugunung. Ia menghimpun pasukan berjubah dan menghardik para penyekutu Tuhan. Tapi, ia berselingkuh dengan perusahaan tambang yang akan merobohkan Watugunung. Ia juga memancing kehadiran pasukan ninja yang membunuh kiai dengan isu dukun santet.

3M
Lewat Bilangan Fu, Ayu Utami mau mengkritisi pemikiran modern. Pemikiran yang terlalu mengagungkan rasio atau akal yang telah terlampau jauh, sehingga meremehkan nilai-nilai tradisi yang ramah pada alam. Manusia, menurut Ayu Utami, harus menyadari hal yang mendesak untuk dilakukan saat ini, yakni menyelamatkan bumi, bukan akhirat.

Bilangan Fu menyinggung tentang 3M yang menyebabkan kehancuran manusia, yaitu modernisme, monoteisme, dan militerisme. Pemikiran tentang militerisme sebagai musuh demokrasi, muncul sebagai M pertama. Bentuknya muncul sebagai pengekangan pers pada era Orde Baru. Sekarang Indonesia lumayan terbebas dari militerisme, namun menghadapi ancaman baru, yang berasal dari ketidakbebasan pemikiran.

Secara khusus, Ayu Utami menyoroti monoteisme. Ia prihatin atas kesombongan monoteisme atas agama-agama lokal. Agama-agama monoteisme telah merendahkan agama-agama lokal sebagai penyembah berhala. Padahal, sesungguhnya agama lokal memiliki penghormatan terhadap alam. Dan, M yang ketiga adalah modernitas. Ketidakbebasan pikiran, berasal dari kemanjaan yang dipelihara kapitalisme, dan kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari modernitas. Ayu Utami berpendapat, bahwa 3M itu sebagai ancaman terhadap dunia post-modernisme.

Spiritualisme kritis
Ayu Utami, dengan sangat kental meniupkan nafas spritualisme kritis pada novel terbarunya ini. Ia mengangkat wacana spritual-keagamaan, kebatinan, dan mistik. Penulis sepertinya ingin membedakan agama dan spiritual. Agama formal tak lebih dari seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan pada pengikutnya. Agama formal bersifat top-down, diwarisi dari rasul, pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga atau tradisi.
Bilangan Fu memberi tawaran cara beragama yang baru, yakni dengan laku kritis. Kritis tidak berarti membabi buta. Ia juga sama sekali tidak anti, apalagi membenci. Kritis terhadap ajaran-ajaran agama, mampu melihat nilai-nilai luhur pada agama asli dan kritis pada agama sendiri agar tak terperosok pada kesombongan dan monopoli kebenaran.

Laku kritis memberi kesadaran agar tak hanya memandang ke langit dan hidup demi surga. Karena, manusia hari ini -dan kelak anak keturunannya- masih tinggal di bumi yang sama. Maka yang utama adalah memelihara alam lingkungan. Demi kelangsungan hidup bumi dan anak-anak generasi nanti. Agama-agama nenek moyang yang meyakini bahwa ada penunggu dalam pepohonan, ada penjaga gaib di gunung-gunung, ada penguasa di dasar samudera. Hal ini perlu dilihat secara kritis, bahwa ada nilai kebijaksanaan agar berhati-hati mengolah alam dan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan.

Dosen Universitas Paramadina yang aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL), Luthfi Assyaukanie mengatakan, ide Ayu sederhana saja, yakni animisme itu lebih ramah, menganggap alam sebagai subjek yang dipuja sehingga tidak pernah dirusak. “Sebaliknya, ketika kita menganut monoteisme, alam adalah objek yang dieksploitasi demi kemaslahatan hidup orang banyak. Monoteisme mengajarkan pada kita agar memperbaiki akhirat, namun merusak dunia,” ujarnya dalam peluncuran novel ini.

Laku kritis juga menuntut kesabaran memanggul kebenaran, agar tak jatuh menjadi ego yang mengalahkan kebaikan. Kritis untuk tidak menganggap kepercayaan orang lain hanya sekedar dongeng dan kemusyrikan penyembah berhala. Dan, sadar bahwa iman diri sendiri juga bisa menjadi takhayul bagi orang lain. Karena, kebenaran sejati masih menjadi misteri di kala depan, bukan kala sekarang. Kebenaran tak perlu dipaksakan. Ia boleh tertunda esok hari nanti, asalkan kebaikan memenuhi hari ini.

Bilangan Fu adalah bilangan metaforis, bukan matematis. Spiritual bukan rasional. Spiritual adalah kritik, bahwa pengertian kita tentang Tuhan yang satu dalam monoteisme, kadang terlalu matematis.

16 Okt 2008

Memberikan Kasih, Kebencian dan Gairah

Judul Buku : Jerusalem; Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir
Pengarang : Trias Kuncahyono
Penerbit : Kompas Gramedia, Jakarta 2008
Tebal : 315 halaman

“TAK ada tempat di bumi ini yang dapat memberikan kasih, kebencian, dan gairah sekaligus selain Jerusalem.” Demikianlah kalimat perdana yang ditorehkan salah satu Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Trias Kuncahyono dalam buku berjudul Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jerusalem, yang dilukiskan sebagai pusar dunia hingga detik ini. Jerusalem selalu menjadi pusat perhatian dunia. Bahkan, Jerusalem menjadi episentrum berbagai persoalan dunia yang tidak kunjung selesai.

Trias menulis buku ini dengan pendekatan jurnalistik. Pria kelahiran Yogyakarta, 11 Juni 1958 ini berhasil menikahkan teknik reportase dengan studi pustaka yang mendalam. Sebanyak 29 buku, 21 artikel surat kabar, 12 tulisan dalam jurnal berkala dan 29 naskah dari internet, mendukung penulisan buku ini. Dukungan referensi ini menjalin sejarah kehidupan umat beragama.

Tiga agama
Ini merupakan buku Trias yang kelima. Sebelumnya ia menulis Dari Damascus ke Baghdad, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Irak Korban Ambisi Kaum Hawkish dan Paus Yohanes II, Musafir dari Polandia. Dalam buku Jerusalem, Trias melukiskan keunikan Jerusalem. Jerusalem bukan hanya warisan sejarah yang panjang. Namun, juga menyimpan nilai-nilai spiritual. Tiga agama besar dunia, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam, disatukan dalam suasana kecintaan terhadap Jerusalem. Meski, ketiganya berbeda dalam konsep fundamental tentang Tuhan. Salah satu penulis Kata Pengatar Zuhairi Misrawi, melukiskan. ‘Di jalan menuju Masjid Al Aqsha, dari atas terlihat rombongan umat Yahudi beribadah di Tembok Ratapan. Tak jauh dari tempat itu, orang-orang Kristiani memenuhi Gereja Makam Kristus atau yang biasa disebut sebagai Makam Suci’. Demikianlah Jerusalem, menjadi tempat bagi tiga agama besar hidup.

Menyitir buku Jerusalem; The Three Religions of the Temple Mount, Leah Sullivan menceritakan bahwa, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam memandang Jerusalem sebagai ‘pintu ke surga’. Jerusalem dipercaya sebagai titik pertemuan antara surga dan bumi. Maka, tak heran jika Jerusalem dikuduskan agama, tradisi, sejarah dan teologi. Jerusalem menjadi kota yang dipuja-puji umat Yahudi, Kristen, dan Islam.

Orang Yahudi percaya, Jerusalem adalah satu-satunya kota suci di dunia. Kota pilihan Tuhan sebagai ‘tempat kediaman nama-Ku’, sebagaimana tertulis dalam Kitab Tawarikh. Bagi umat Kristen, Jerusalem adalah kota suci yang penting. Ki kota inilah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan bangkit. Dari Jerusalem mengalir ajaran cinta kasih kepada sesama umat manusia disebarkan oleh Yesus. Sementara, bagi umat Muslim, Jerusalem adalah tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan dari Mekah ke Jerusalem, Isra Mikraj ke Sidrat Al Muntaha. Perjalanan malam Nabi itu memperkuat hubungan antara Mekah dan Jerusalem sebagai kota suci.

Konflik
Jerusalem pernah menjadi pusat perdamaian dunia. Namun, 30 tahun terakhir, kota bertubi-tubi dihancurkan. Sudah 20 kali pula kota ini dibangun. Di kota ini, dua bangsa, Israel dan Pelestina serta tiga agama hidup. Berabad-abad mereka hidup dalam damai. Karena, hidup berdampingan secara damai bukanlah impian.

Pada medio 1967, pertumpahan darah menjadi pemicu baru perselisihan politik. Pertikaian yang menyulut api benci dengki antarsesama, antarsaudara. Sungguh, suatu bencana, Jerusalem hingga hari ini, masih menjadi simbol konflik yang mengancam seluruh dunia.

Buku ini memberi pesan mendalam. Di Jerusalem, Tuhan menciptakan pluralitas. Buku ini seperti membuka mata dan menyadarkan diri, bahwa manusia memiliki kiblat yang sama, Abraham yang sama, Tuhan yang sama. Di Jerusalem, Tuhan ada dalam pluralitas dan multikuturalitas. Di kota ini, Tuhan telah menyemaikan benih-benih kasih sayang, persaudaraan dan perdamaian antarpemeluk agama. Dalam bahasa Ibrani, Jerusalem berarti warisan perdamaian. Yerusha berarti warisan dan shalom berarti damai!

Menemukan Tuhan dalam Wajah Korban

Judul : Kesucian Politik; Agama dan Politik di Tengah Krisis Kemanusiaan
Penulis : Patrisius Mutiara Andalas SJ
Penerbit : Libri Jakarta, 2008
Tebal : 254 halaman


Tragedi Mei 1998 meninggalkan tubuh korban yang rusak. Wajah beberapa korban hampir tak dikenali lagi. Tragedi itu meninggalkan luka dan penderitaan. Peristiwa yang memberikan jejak pelucutan atas kemanusiaan. Melihat kondisi korban yang mengerikan itu, mengingatkan kita pada sosok Pontius Pilatus saat mempertontonkan Yesus sebelum mengundinya dengan Barabas di hadapan massa. “Pandanglah manusia yang rusak itu!” ucapnya.

Menolak lupa
Mei 1998 adalah sejarah berdarah yang seharusnya selalu dikenang rakyat Indonesia. Kecuali, mereka yang dengan sengaja menutupi dan melupakan. Mei 1998 menjadi titik balik politik Indonesia, setelah dibisukan rezim otoriter, yang pecah dalam perlawanan mengusung bendera reformasi. Kebisuan berhasil dipecahkan. Reformasi 1998 pun menagih nyawa sebagai biaya politik. Ribuan nyawa hilang dalam kesewenang-wenangan amuk massa. Ribuan perempuan, terutama etnis Tionghoa dirobek batin dan tubuhnya oleh kebengisan massal. Orangtua harus merelakan anak-anaknya menjadi jasad yang tak dikenali.

Penulis buku ini, mencoba menghimpun kembali daya yang masih tersisa dalam perjuangan melawan politik lupa. Pastor Patrisius Mutiara Andalas SJ pernah mendampingi Paguyuban Keluarga Korban Mei Semanggi. Paguyuban ini terus setia pada panggilan nurani kemanusiaan. Mereka berjuang bagi orang-orang yang mereka cintai. Mereka terus melawan pelupaan pada korban sejarah perubahan bangsa ini. Bukan untuk menggulingkan kekuasaan, namun untuk mengingatkan, bahwa martabat kemanusiaan pernah dilecehkan di negeri ini.

Merangkul korban
Kesewenangan kekuasaan tidak hanya terjadi di Indonesia. Itu adalah sejarah kelam bangsa-bangsa di dunia. Penulis merajut kisah-kisah korban dalam suatu dialog imajiner. Kisah-kisah itu membawa pembaca pada satu kesadaran, bahwa kita pernah dan hampir melupakan suara-suara korban itu. Melalui kisah-kisah pergumulan kemanusiaan yang terentang dari para ibu Plaza de Mayo, Rigoberta Menchu, Aung San Suu Kyi, Elie Wiesel, Hannah Arendt, Jon Sobrino, serta keluarga korban tragedi kemanusiaan di Indonesia, penulis mengajak pembaca untuk mendekati tragedi kemanusiaan dari perspektif iman.

Elie Wiesel, seorang korban hidup tragedi Holocaust, menolak berbicara mengenai Tuhan saat mendiskusikan tragedi kemanusiaan Holocaust. Wiesel khawatir, komunitas agama akan memberi kiat, agar para korban melarikan diri pada Tuhan dan melupakan semua. Namun, Wiesel mengundang komunitas agama sebagai saksi kemanusiaan, agar ikut menghentikan atau menahan laju pelupaan pada korban.

Sementara, Jon Sobrino mengusulkan, agar bela rasa menjadi paradigma baru bagi komunitas agama di tengah krisis kemanusiaan. Bela rasa muncul dari rahim perjumpaan dengan penderitaan korban. Agama membuka diri untuk disentuh korban. Perjumpaan dengan korban menumbuhkan persaudaraan dan mendorong komunitas agama menjadi pelaku dalam membangun dunia yang lebih humanis.

Tragedi kemanusiaan mengundang komunitas agama keluar dari altar menuju pelataran. Menjumpai Tuhan dalam diri korban. Tuhan kehidupan yang memanggul penderitaan korban. Seperti teks Kitab Suci yang mengundang komunitas beriman agar berani memanggul salib bersama Yesus yang juga telah menjadi korban.

Namun, komunitas agama sering kali mencerabut persoalan ini dari wilayah agama, karena menganggap sebagai aktivitas politik. Kecerobohan komunitas agama ini berakibat fatal terhadap kemanusiaan korban. Komunitas agama perlu kembali kepada habitat sosialnya, yakni menjadi pelaku politik. Komunitas agama perlu merangkul korban dan mendampingi perjuangan kemanusiaan mereka, untuk mengetuk nurani bangsa Indonesia.

Tragedi Mei 1998 telah berlalu sepuluh tahun lalu. Paguyuban keluarga korban masih terus berjuang demi keadilan dan humanisasi di Indonesia. Tragedi Mei 1998 seharusnya membangunkan kesadaran komunitas agama, bahwa negara dapat berubah perilakunya. Dari pengayom dan pelindung warga, menjadi pelaku pembiaran, kekerasan, dan diskriminasi. Stigma negara terhadap korban, telah menghancurkan jembatan solidaritas dengan korban.

29 Sep 2008

Ahmad Syafii Ma'arif: Harus Keluar Kandang

Senin sore, 15/9, hari masih cerah. Beberapa tokoh agama, praktisi hukum, pengusaha, pejabat pemerintah dan wartawan berkumpul memenuhi ruang pertemuan Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.

Mereka menanti kehadiran Prof. DR. Ahmad Syafii Ma’arif yang baru saja menerima Magsaysay Award 2008 dalam bidang ‘Peace and International Understanding’ di Manila, Filipina, Minggu, 31/8 yang lalu. Penghargaan ini disebut sebagai Nobel-nya Asia. Buya -sapaan akrab Prof. DR. Ahmad Syafii Ma’arif- adalah tokoh Indonesia ke-19 yang memperoleh penghargaan itu.
Acara ini memang digelar sebagai tasyakuran bersama atas penghargaan itu, sekaligus berbuka puasa bersama. Buya datang berbalut busana batik. Ia didampingi sang istri, anak menantu dan cucunya. “Penghargaan ini sangat berat bagi saya. Saya tidak hebat, istri saya tahu itu,” ujarnya saat menyampaikan sambutan.

Ramon Magsaysay adalah mantan presiden Filipina yang ketiga (1953-1957). Ia berdarah campuran, Melayu, Spanyol dan China. “Ia bukan intelektual, tapi ia banyak banyak berbuat. Dia presidennya orang miskin. Presidennya penegakkan keadilan. Presidennya para petani!” tegas pria kelahiran Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935 ini.

Masih di kandang
Ditemui usai acara, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah (1999-2004) ini, mengurai pandangannya tentang gerakan membangun budaya damai antara agama di Indonesia. Ia menegaskan, Al-Quran adalah Kitab Suci yang sangat toleran. “Lebih toleran dari pada orang Islam!” tegasnya. Beberapa ayat berbicara tentang kebebasan beragama. “Nabi Muhammad pun tak pernah memaksa orang untuk masuk ke agama Islam. Itu sangat jelas. Nabi sangat akomodatif pada semua orang. Karena, tak ada kekuatan duniawi mana pun yang dapat memaksa orang, mengadili, bahkan membunuh keyakinan orang lain!” imbuhnya sembari santap buka puasa.

Mengomentari Hara Raya Idul Fitri 1429 H, Buya mengatakan, bahwa dalam Islam, sebenarnya tak ada perintah menerima zakat. Tapi, yang harus dilakukan umat Islam adalah mengeluarkan zakat. Artinya, menurut Buya, orang Islam itu tak boleh merasa miskin. Namun, kenyataan berkata lain. Di satu sisi, masih banyak orang yang berada dalam kungkungan derita kemiskinan. Dan, di lain pihak, banyak juga orang yang berlomba-lomba pamer kemewahan saat Idul Fitri. “Tidak hanya Idul Fitri! Itu terjadi di semua agama. Lihat saja kemewahan saat Natal. Hari raya agama selalu identik dengan kemewahan. Ini masalah!” tegasnya.

Idul Fitri di Indonesia juga menjadi perayaan untuk saling memaafkan. “Semangat memaafkan adalah perintah Al-Quran,” ujar Buya. Memaafkan, menurutnya, bukan berarti semangat untuk membiarkan kesalahan. Memaafkan adalah ungkapan kepercayaan diri dan sebuah kekuatan. Memaafkan bukan karena lemah, tapi karena percaya diri. “Karena kita mau mengakui kesalahan, lalu minta maaf dan dengan lapang dada mau memaafkan orang lain,” urainya.
Menurut Buya, kedua semangat itu sebenarnya satu idealisme yang harus terus diperjuangkan untuk membangun budaya damai di Indonesia. “Maka, saya menyarankan agar seluruh umat dari agama apa pun harus berani mengkritik dirinya secara tajam. Kita jangan hanya bergaul dengan orang yang seagama saja. Bangsa ini kan plural,” tegasnya. Perjuangan pluralisme di Indonesia, menurutnya, masih memerlukan kerja keras. “Karena agama masih sibuk dengan dirinya sendiri. Tidak mau keluar kandang, hanya bermain di dalam kandang sendiri,” imbuh pendiri Maarif Institute for Culture and Humanity ini.

Itik dan ayam
Selain itu, tantangan kemiskinan juga terus mendera. Jumlah orang miskin terus bertambah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Buya mengungkapkan hal itu dengan peribahasa, “Ayam bertelur di atas padi, mati kelaparan. Itik berenang di air, mati kehausan. Itulah bangsa ini. Bangsa yang tuna kepekaan,” katanya. Maka, menurut Buya, agama harus masuk ke dalam persoalan kemiskinan. “Ini salah satu tugas pokok agama. Kalau agama hanya mengurusi hubungan manusia dengan Tuhan, maka, agama tidak terlalu banyak gunanya bagi kehidupan manusia,” imbuhnya.

Hal lain yang menurut Buya menjadi tantangan dalam membangun budaya damai di Indonesia adalah soal kepemimpinan. Menurutnya, selama ini pemerintah lemah dalam melindungi pluralitas di Indonesia. “Saya tidak tahu, apakah bibit pemimpin yang seperti itu ada atau tidak. Apakah rahim Indonesia ini bisa melahirkan pemimpin yang memiliki ketegasan, kearifan, dan pilihan pemihakan pada yang lemah?” ujarnya.

Namun, Buya tetap optimis dengan masa depan perjuangan pluralisme di Indonesia. “Dengan satu syarat, semua orang menempatkan diri secara wajar dalam tataran Indonesia yang plural, terbuka, dan memberi peluang yang lebar bagi tumbuhnya benih toleransi. Termasuk bagi orang yang tak beragama harus diberi hak hidup di muka bumi Indonesia. Planet bumi yang satu ini harus menjadi tempat hidup secara bersama-sama,” tegasnya.

Idul Fitri tahun ini akan jatuh bersamaan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Namun, menurut Buya, Pancasila lebih banyak menjadi sebuah retorika politik. “Dimuliakan dalam kata, dipuja dalam tulisan, dikhianati dalam perbuatan!” ungkapnya tegas.

24 Sep 2008

DR. Abdul Moqsith Ghazali: Menelisik Pluralisme dalam Alquran

“SAYA membaca Alkitab ketika masih di pesantren,” kisah koordinator Jaringan Islam Liberal DR. Abdul Moqsith Ghazali saat ditemui di Kedai Tempo Utan Kayu, Jakarta Timur, awal September lalu.

Moqsith -sapaannya- lahir dari keluarga santri dan tumbuh di lingkungan pesantren. Kondisi pesantren membatasi ruang pergaulan pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 7 Juni 1971 ini. “Perjumpaan dengan umat agama lain sangat minim,” protesnya kala itu. Saban hari, ia membaca Alquran dan buku-buku yang hanya berbicara tentang keislaman. Moqsith juga membaca beberapa buku yang bicara pertentangan antara Islam dan Kristen. Dari situ, ia mulai tertarik membaca Alkitab. “Apa sih sebenarnya isi Alkitab itu?” pikirnya saat itu.

Keprihatinan berkait dengan pertentangan agama makin merayap dalam pikirnya. Apalagi, ketika menjumpai pandangan-pandangan para ulama yang keliru tentang pluralisme. Pertama, ada pandangan yang berkata, bahwa pluralisme itu mau menyamakan semua agama. Kedua, pluralisme itu tidak mengakui agama-agama. Dua hal ini, membuat Moqsith berniat meraba dan menelisik lebih jauh bagaimana Alquran berbicara tentang umat agama lain. Pemikiranannya makin terbuka, ketika ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta dan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.

Piagam Madina
Dalam disertasinya, Moqsith mengangkat pluralisme. Ia memberi judul disertasinya Pluralisme dalam Alquran; Sebuah Studi tentang Pluralisme dan non-Pluralisme. Ketika meneliti, ia menemukan beberapa ayat dalam Al-Quran yang sangat menghormati umat agama lain, namun ada pula yang sebaliknya. “Kritik dan apriori umat Islam pada agama lain, lebih karena persoalan politik dan ekonomi,” tegas dosen di Universitas Paramadina Jakarta dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

Ia mencontohkan, saat Nabi Muhammad dan orang-orang Yahudi serta beberapa kelompok agama lain membuat Piagam Madina. Piagam ini berisi konsensus politik yang tak ada hubungannya dengan Alquran. Namun, orang Yahudi melanggar konsensus tersebut, maka timbul ketegangan. Ketegangan antara Islam dan Yahudi ini, bukan masalah teologis, tapi murni masalah politik dan ekonomi. Orang Yahudi sebagai putra daerah merasa tersaingi oleh kedatangan orang Islam dari Mekah.

Maka, menurut Moqsith, turunlah beberapa ayat dalam Alquran guna menyikapi kondisi itu. Ayat-ayat tersebut menganjurkan agar umat Islam melakukan perlawanan atas serangan orang Yahudi. “Jadi, memang ada ayat-ayat Alquran, yang jika dilucuti dari konteksnya, seakan menganjurkan penggunaan kekerasan. Padahal, ayat-ayat itu turun dalam kondisi darurat perang,” papar ayah dua anak ini. Moqsith menyebut ayat-ayat tersebut sebagai ayat partikular, karena ada ayat-ayat universal yang justru memberi penghormatan pada agama lain.

Islam dan Kristen
Ketegangan hubungan antaragama di Indonesia, menurut Moqsith, sering terjadi antara Islam dan Kristen. Ketegangan itu juga berakar pada persoalan politik dan ekonomi. Ia memaparkan, bahwa kekristenan masuk ke Indonesia bersama dengan kolonial Belanda. Saat itu, pemerintahan kolonial Belanda sering melakukan tindak diskriminasi terhadap umat Islam. Misal, sekolah-sekolah Kristen mendapat lebih banyak subsidi dari pada sekolah Islam.

Maka, saat itu, memusuhi Kristen bersamaan dengan memusuhi kolonial Belanda. “Mungkin akan lain cerita, jika kekristenan hadir di Indonesia tidak bersamaan dengan kedatangan kolonial Belanda,” paparnya. Pengalaman ini, menurut Moqsith masih menempel kuat dalam memori kolektif sebagian umat Islam di Indonesia. Kekristenan identik dengan kolonial.
Ia juga melihat, bahwa kedua agama ini, Islam dan Kristen memiliki keinginan yang sama, yakni menyebarkan agama. Di Islam ada konsep dakwah, sementara di Kristen ada konsep misi. “Kedua konsep tersebut kan untuk menyebarkan agama masing-masing. Ini juga menjadi salah satu tantangan dalam membangun proses dialog antar kedua agama ini,” katanya.

Padahal, saat belajar kristologi di STF Driyarkara, ia menemukan adanya keberlanjutan ajaran dari Kristen ke Islam. Mulai Perjanjian Lama, Perjanjian Baru hingga ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Misal, dalam kekristenan terdapat konsep puasa, begitu pula dalam Islam. Atau contoh lain, bahwa kedua ajaran agama ini memiliki semangat untuk berpihak pada mereka yang lemah, miskin dan tertindas. “Hanya mekanisme teknis pelaksanaannya saja yang berbeda,” tandasnya.

Ia melanjutkan, bahwa kelahiran agama dari rumpun Abrahamik adalah agama sebagai bentuk perlawanan terhadap kelompok-kelompok yang kuat secara ekonomi dan politik. “Yesus, Musa dan Nabi Muhammad kan lahir bukan dari kalangan orang kaya atau bangsawan. Mereka hadir sebagai bentuk perlawanan dari kelompok yang tertindas dan miskin,” tambahnya.
Inilah tantangan bagi gerakan pluralisme di Indonesia. Yakni, agar pluralitas dipandang sebagai sebuah fakta dan persamaan prinsip ajaran dapat mewujud dalam kerja-kerja nyata. “Saya juga berharap agar umat Kristiani lebih mengambil peran dalam kerja nyata ini di tengah dinamika kemasyarakatan dan kebangsaan,” harapnya.

Tantangan pluralisme
Melihat tantangan ini, Moqsith tetap optimis dengan masa depan pluralisme di Indonesia. “Karena pluralisme adalah dasar pemersatu bangsa Indonesia. Kalau pluralisme di Indonesia gagal, maka bangsa ini akan rontok dan selesai,” tegasnya. Menyikapi maraknya kelompok-kelompok fundamentalisme agama, Moqsith mengatakan, bahwa ini adalah akibat kelemahan negara dalam menegakan hukum. “Kelompok ini memang akan tumbuh dan menjamur ketika negara masih pada masa trasisi menuju demokrasi. Tapi, jika demokrasi telah terwujud, saya yakin, kelompok ini akan mati,” imbuhnya.

Maka, ia mengusulkan agar para pegiat pluralisme di Indonesia masuk ke tiga ranah, yakni kultural, pendidikan dan politik. Karena saat ini, masyarakat lebih cenderung menjadi eksklusif. Orang bergaul hanya dengan sesama yang seagama saja. Hal ini ditandai dengan kemunculan perumahan-perumahan yang khusus untuk umat agama tertentu. “Ada perumahan Islam. Dan lebih parah lagi, tidak mau menerima umat dari agama lain,” jelasnya. Dalam dunia pendidikan, Moqsith memandang, baik madrasah, pesatren atau seminari masih mengajarkan beberapa pelajaran yang isinya diskriminatif terhadap agama lain. Sementara dalam politik, muncul aturan-aturan atau Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif.

Menurut Moqsith, ketiga hal itu menjadi tantangan pokok gerakan pluralisme di Indonesia. Maka, perlu ada kerja-kerja lintas sektoral. Dalam pendidikan, perlu mengubah kurikulum agar lebih toleran pada agama lain. Pada ranah kultural, harus ada mekanisme kebudayaan yang bisa memerangi ketegangan antar umat beragama. “Dan, perlu masuk ke dunia perpolitikan, untuk andil dalam merumuskan aturan-aturan yang mengedepankan pluralisme dan toleransi dengan umat agama lain,” pungkasnya bersamaan dengan bedug tanda buka puasa.

18 Sep 2008

Prof. DR. Maria Farida Indrati; Perempuan Penjaga Konstitusi

Suasana Jawa sangat kental terasa. Beragam ornamen ynag terbuat dari kayu menghias ruang tamu. Di satu sudut ruang, berdiri patung Bunda Maria.

SANG suami pun ramah menyambut. Tak lama berselang, seorang perempuan muncul dengan langkah pincang. Sejak usia tiga tahun, ia terkena polio. Perempuan itu bernama Maria Farida Indrati. Baru satu minggu, ia berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Dia adalah salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesi (RI) yang baru dilantik Presiden RI di Istana Negara, Sabtu, 16 Agustus 2008 lalu. Maria -sapaanya- merupakan satu-satunya perempuan di antara jajaran sembilan orang hakim yang ada di Mahkamah Konstitusi.

Padahal, saat kecil, Maria tak pernah bercita-cita bekerja di dunia hukum. “Saya ingin sekolah musik. Sejak kelas dua SD sampai memiliki anak, saya ikut koor di Gereja,” cerita Maria saat ditemui di rumahnya di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan, Rabu, 3/9. Bahkan, perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, 14 Juni 1949 ini, pernah ditawari sekolah musik oleh Pastor Johan A. Mulder SJ, Pastor Paroki Purbayan Solo saat itu.

Koor dan hukum, memang dua dunia yang jauh berbeda. Tapi, dua hal itu menjadi bagian penting dalam hidup Maria. Ia juga tak pernah membayangkan akan kuliah dan mengajar di Universita Indonesia Jakarta. “Itu kan tempat orang demo,” kenangnya. Namun, ‘tempat demo’ inilah yang membesarkan Maria hingga sekarang.

Memahami kata

Istri C. Soeprapto Haes ini memang fasih bicara soal hukum, terutama hukum perundang-undangan. Sudah sekitar 26 tahun, ia menekuni bidang ini. Semua itu, bermula ketika ia ditawari Prof. Hamid S. Atamimi, menjadi asistennya. Figur Prof. Hamid membuat Maria tertarik pada dunia perundang-undangan. “Beliau selalu membimbing dan memberikan banyak buku,” kenangnya bahagia. Prof. Hamid selalu mendorong Maria agar terus membaca. Ketika, Prof. Hamid meninggal dunia, Maria menjadi penggantinya. Ia seperti mendapat warisan agar meneruskan cita-cita Prof, Hamid, yakni menjadi guru besar dalam bidang hukum perundang-undangan.

Lewat bacaan-bacaan tersebut, umat Paroki St Yohanes Penginjil Blok B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini, makin memahami dan dapat mengkritisi berbagai masalah perundang-undangan di negeri ini. “Setiap kali saya membaca koran, saya bisa dengan spontan mengatakan, ini benarnya di sini, ini salahnya di sini,” ujarnya lirih.

Ia pun selalu cermat saat membaca sebuah teks perundang-undangan. Memahami kalimat per kalimat, bahkan kata per kata. Baginya, satu kata dapat menimbulkan masalah. “Kata-kata dalam undang-undang itu menjadi sangat penting, karena menyangkut hidup orang banyak,” papar anak pertama dari delapan bersaudara ini.

Lahan kering
Dalam ranah hukum perundang-undangan, Maria sering merasa sendiri sebagai seorang perempuan. Kesendirian ini, ia rasakan ketika menghadiri pertemuan, seminar atau diskusi yang berkaitan dengan bidang hukum. Bidang yang ia tekuni memang jarang diminati. “Sangat jarang yang mau menekuni bidang ini. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun begitu. Karena ini lahan kering. Berbeda dengan hukum perdata dan pidana yang dibanjiri peminat,” jelas ibu dari tiga orang anak ini.

Namun, bidang yang ia tekuni ini, justru membawa Maria bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari orang-orang di departemen negara hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena, ia kerap diminta mengkritisi berbagai produk perundangan-undangan. Keahliannya ini juga membuat Maria terpilih menjadi Ketua Komisi Perundang-Undangan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara sejak tahun 2000. “Kalau saya dibutuhkan, saya akan menyediakan diri, asal sesuai dengan bidang saya. Serviam (melayani), itu semangat saya,” tegasnya mantap.

Sejak Mahkamah Konstitusi disahkan 13 Agustus 2003, kehadiran hakim konstitusi dari kalangan perempuan sangat diharapkan. Ketika pencalon hakim konstitusi tahun 2003, Maria telah diminta delapan elemen masyarakat agar mengajukan diri. “Saat itu, saya tidak mau. Saya masih senang mengajar,” kisahnya. Namun, lima tahun kemudian, ia mau masuk dalam bursa calon hakim di Mahkamah Konstitusi.

living constitution
Pada Juni 2008, beredar kabar bahwa Maria menjadi salah satu calon hakim yang akan dipilih presiden. Maria pun bingung. Tapi, satu bulan kemudian, ia dihubungi dan diminta menjadi calon hakim di Mahkamah Konstitusi. Saat itulah, ia baru percaya bahwa kabar yang beredar itu benar. Ia mau mencalonkan diri, lantaran ia diijinkan untuk tetap mengajar. “Kalau tidak boleh, saya pasti tidak mau!” tegasnya. Sehari sebelum menyerahkan daftar riwayat hidup, bersama sang suami, Maria pergi ke makam Bapaknya di Tanah Kusir.

Semua tahapan seleksi ia lalui. Hingga pada Sabtu, 16 Agustus 2008, Maria secara resmi dilantik menjadi salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi. Menurut Maria, ini bukan akhir dari segalanya, melainkan awal untuk melangkah lebih baik. Ia merasa bahwa tugas ini merupakan sebuah jalan agar bekerja, mengabdi, dan membantu negara tercinta ini.

Sebagai perempuan, ia tak mau hanya untuk memenuhi keterwakilan perempuan semata. “Mewakili, namun tak dapat berbuat apa-apa, itu tak ada gunanya. Selain itu, sering sekali perempuan itu dianggap lemah lembut. Kalau di Mahkamah Konstitusi tidak bisa lemah lembut atau lembek. Keputusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh lemah lembut. Harus tegas dan cermat. Kalau tidak tegas, nanti tidak ada kepastian hukum,” ucapnya bersemangat. Ia juga berharap, tetap dapat menjaga independensi. Walaupun ia adalah hakim di Mahkamah Konstitusi, ia masih dapat memiliki pendapat pribadi yang mungkin berbeda dengan pendapat lembaganya.

Salah satu cita-cita Maria adalah agar Indonesia memiliki sebuah living constitution, yakni sebuah konstitusi yang dapat mengikuti perkembangan jaman dan memiliki cara pandang ke depan. “Sehingga, tidak perlu setiap saat berubah. Konstitusi seharusnya dapat memenuhi keinginan masyarakat dalam jangka waktu yang panjang. Dan, untuk membuat konstitusi yang seperti ini, dibutuhkan para pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan. Bukan pemimpin yang hanya memiliki kepentingan sesaat saja,” imbuhnya.

28 Agu 2008

Kepada Bulan

Hari ini tanggal lima belas penanggalan Jawa. Rembulan akan bersinar penuh. Namun, senja masih bergelanyut. Semburat jingga masih menggantung di ufuk barat. Sang penerang siang nampak enggan menuju cakrawala. Begitu pun dengan camar yang masih menari-nari di angkasa.

Anak-anak yang sedari tadi bermain di halaman rumahku, telah pulang satu-per satu. Pintu-pintu rumah telah ditutup rapat. Sampan-sampan pun mulai berdayung pulang menembus rimbunan bakau. Senja mulai gelap. Sepi pun menderap. Purnama masih saja malu-malu menampakan kepenuhan.

Kumandang adzan memecahkan kesunyian. Beriringan dengan madah pujian binatang malam. Beberapa orang melintas menuju surau. Sedang yang lain masih bertahan di sebuah gardu ronda di seberang jalan. Mengadu nasib di atas kartu-kartu peruntungan. Dewi Purnama sedikit demi sedikit mulai menampakan diri, memamerkan kecantikan.

Aku masih duduk di kursi kayu di beranda rumah. Sekali-sekali kepalaku mengangguk pada orang yang melintas di depan rumah. Melempar senyum seperti biasa. Senyum yang sudah kuhapal. Sudah beberapa minggu ini, aku lebih suka sendiri, bergelut dengan sepi, berselimut sunyi.

Anganku pun melayang pada kenangan yang selalu membuat rindu. Saat-saat penuh cinta. Penuh kebahagiaan. Meski harus dilalui dengan berkeringat, beradu mulut, bersunggut-sunggut dan berair mata. Sudah hampir dua puluh tahun aku tinggal di sini. Di sebuah desa yang jauh dari keramaian. Tak ada suara bising mobil, tak ada listrik, tak ada super market, tak ada sinyal telepon seluler. Jauh dari hiruk-pikuk dan simpang siur berita. Apalagi gosip para selebritis, tak terdengar sama sekali. Untuk mencapai tempat ini saja, harus naik perahu motor selama dua jam dari pelabuhan kota. Menyusuri laut, menembus jajaran hutan bakau.

Tak pernah terbayang, aku akan tinggal di daerah seperti ini. Hidup di antara rawa-rawa, berdekatan dengan pulau tempat pembuangan narapidana kelas kakap. Hidup di antara para nelayan. Hidup di daerah endemik malaria. Sungguh tak pernah terbayangkan!

Namun, selepas SMA, aku dipinang Yakobus, kakak kelasku. Harapanku untuk bekerja di Jakarta pun pupus. Karena aku harus mengikuti suamiku yang bekerja sebagai penyuluh pertanian di desa ini. Bagaimana pun aku harus ikut. Aku telah berjanji di hadapan Tuhan untuk selalu setia sehidup semati dengannya. “Yang telah disatukan Tuhan, tak boleh diceraikan manusia!” ucapku bersama Yakobus saat kami menikah.

Dua tahun menikah, aku dikarunia bayi perempuan. Wulan, namanya. Bayi perempuan mungil. Lima tahun kemudian, lahirlah Purnama. Lengkap sudah kebahagiaanku. Pun dengan Yakobus. Setiap hari, ketika akan berangkat kerja, ia selalu mengecup kening dan pipiku terlebih dahulu. Demikian pula ketika pulang. Wajahnya selalu ceria. Aku pun semakin sayang padanya.

Belum lama aku mencecap kebahagiaan itu, tiba-tiba, pada suatu sore, Yakobus pulang dengan wajah yang tak ceria. Ia dipecat, karena terlibat penggelapan uang proyek penghijauan dari pemerintah. Kebahagiaanku pun terancam.

Sejak saat itu, Yakobus berubah. Ia mulai berjudi. Mabuk-mabukan. Jarang pulang ke rumah. Sering marah-marah. Aku pun jadi sasaran kemarahannya. Pipiku yang dulu sering dikecupnya, kini jadi sasaran tangannya. Aku tak dapat melawan. Aku tetap sayang padanya.

Hingga pada suatu malam, selepas kami bercinta, ia mengungkapkan keinginannya. “Anna, aku tak dapat lagi hidup di sini. Aku harus pergi. Aku akan mencari pekerjaan. Mungkin ke Sumatera. Kamu boleh ikut, tapi boleh juga tidak!” ucapnya sedikit parau. Wajahnya masih berkeringat.

“Tapi anak-anak masih kecil, Mas! Tidak mungkin membawa mereka pergi jauh,” sergahku.

“Aku tak kuat lagi. Setiap hari orang-orang selalu membicarakan kejelekanku!” bela Yakobus. “Kamu tinggal di sini saja. Nanti, kalau aku sudah bekerja, aku akan mengirimimu uang setiap bulan,” lanjutnya sebelum terlelap. Keesokan paginya, dengan sangat berat hati aku melepaskan kepergiaan suamiku. “Hati-hati!” Hanya itu yang dapat aku ucapkan padanya.

Satu tahun berlalu. Aku rindu suamiku. Namun, tak ada kabar dari suamiku. Sepucuk surat pun tidak. Apalagi uang, seperti yang dijanjikannya. Aku mulai gelisah. Gundah makin menjarah. Uang persediaan sudah menipis. Sementara kebutuhan terus bertambah.

Hingga suatu hari datang kabar dari Karjo, teman suamiku yang juga bekerja di Sumatera. “Mbak, aku disuruh Mas Yakob untuk menyampaikan kabar. Ia sekarang sudah bekerja, tapi belum dapat mengirimi uang. Gajinya masih kecil. Dan…”. Karjo tak melanjutkan ceritanya.

“Dan…apa, Jo?” sergahku cepat.

“Maaf, Mbak! Mas Yakob menikah lagi. Anaknya sudah satu!”

“Apa…?” Mendengar kabar itu, serasa ada suatu beban berat menimpa pundakku. Kepalaku terasa berat sekali. Dadaku sesak. Kaki dan tanganku bergetar tak beraturan. Sampai beberapa hari aku tak mau makan. Aku benar-benar sakit hati.

“Tapi…benarkah kabar itu? Sejahat itukah suamiku?” Aku ragu. Ada bimbang yang bergejolak di hatiku. Aku tak yakin kabar itu benar. “Aku baru percaya, kalau suamiku sendiri yang mengatakannya. Aku akan terus dan terus menunggu suamiku tercinta!” bisik hatiku.

Aku masih duduk di kursi kayu di beranda rumah. Seminggu lagi, genap empat puluh hari anakku, Purnama, dipanggil Sang Pencipta. Purnama, yah… itulah nama yang diberikan ayahnya. Dia memang lahir saat bulan sedang purnama. Anak laki-laki yang gagah. Tak tahu mengapa Dia memanggil Purnama, di usianya yang masih belia, tiga belas tahun.

“Entahlah..!” bisikku dalam hati.

Padahal, di hari saat anakku meninggal, Purnama begitu ceria. Sore itu, dia masih bermain kelereng di depan rumah. Tapi, tiba-tiba dia terjatuh. Tanpa ada sebab yang tak aku ketahui hingga kini. Ia tak sadarkan diri. Sampai tujuh hari ia terbaring koma di dipan rumah sakit. Tak ada penjelasan apa pun dari dokter yang merawatnya.

“Tapi, sudahlah! Aku yakin ini yang terbaik untuk Purnama,” desahku.

Aku masih duduk di kursi kayu di beranda rumah. Berteman bulan purnama yang telah penuh. Semburat mendung sedikit menggaris di tengah-tengahnya. Air dari mata sedikit menggaris di pipiku. Namun, tak mengurangi mataku yang terus menatap ke depan. Menjemput harapanku. Menanti cintaku.

“Bulan, titip salam buat Purnama dan suamiku tercinta!” desahku.

27 Agu 2008

Vanda Parengkuan; Menjaga Hati Anak-Anak

Konon, di negeri antah berantah, tersebutlah anak bernama Konya Konya Lonya. Ia anak miskin. Ia selalu ditolak teman-temannya. Padahal, ia ingin sekali bermain bersama anak-anak di desa itu. Namun, teman-temannya sangat sombong.

SUATU hari, penyihir Otero Tero datang mengacaukan permainan anak-anak desa itu. Penyihir itu menawari Konya Konya Lonya sebagai muridnya. Ia akan mengajari Konya Konya Lonya menjadi penyihir hebat. Namun, Otero Tero mengajukan syarat. Konya Konya Lonya tidak boleh lagi menggunakan hati. Hatinya harus dilepas. Konya Konya Lonya bersedia. Dengan kekuatan sihirnya, Otero Tero mengambil hati Konya Konya Lonya. Ia lalu menyimpannya di Gua Batu. Gua itu dikunci dengan tiga potong kunci berbentuk air, hati, dan daun. Ketiga kunci itu disimpan di tiga tempat yang berbeda.
Dua puluh tahun berlalu. Konya Konya Lonya telah menjadi penyihir jahat tanpa hati. Ia menyihir desanya menjadi kering kerontang. Sianya Wanya Senya, seorang anak perempuan yang mencintai lingkungan, bertekad mencari tiga potong kunci Gua Batu itu. Ia ingin mengembalikan hati Konya Konya Lonya. Kalau sudah punya hati, Konya Konya Lonya pasti bersedia menyihir kembali Bukit Baobab menjadi hijau lagi. Ditemani Bobo Sianya Wanya Senya berpetualangan mencari tiga potong kunci gua. Akhirnya Konya Konya Lonya mendapatkan hatinya kembali.
Ya, cerita di atas memang sebuah dongeng dari negeri antah berantah. Dongeng yang ditampilkan pada Operet Bobo akhir Juni lalu. Operet berjudul Konya Konya Lonya ini merupakan hasil coretan seorang perempuan bernama Vanda Parengkuan. Ia adalah redaktur Majalah Bobo.

Tukar hati
Rabu petang, 29/7, perempuan yang sering disapa Vanda ini, tampak berpenampilan sederhana. Ia membalut diri dengan busana batik bermotif bunga-bunga. Ia duduk di sudut kedai kopi bermerek internasional di tengah sebuah pasar modern di kawasan Jakarta Barat. Vanda pun membuka cerita. Namun, suaranya harus bersaing dengan hiruk pikuk pengunjung.
Dalam operet yang didukung beberapa wartis itu, perempuan kelahiran Sangir Talaud, Sulawesi Utara, 21 September 1967 ini, juga menyelipkan sebuah lagu berjudul ‘Jangan Tukar Hatimu'. Lindungi hatimuu... Jangan tukar hatimu, dengan harta dan benda, atau apapun juga... Demikian penggalan syair lagu itu. “Operet ini memang berbicara tentang hati nurani,” papar Vanda. Hati nurani, menurutnya, jangan pernah ditukarkan dengan apapun. Karena, kalau hati nurani ditukar, maka perbuatan jahat akan semakin mudah diperbuat. “Dan ketika melakukan kejahatan, rasa bersalah pun sudah tak ada lagi,” tambahnya.
Selain itu, banyak pesan yang dapat dipetik dari operet ini. Soal pertemanan, lingkungan hidup dan juga pesan bagi para orangtua. “Jangan membuat anak-anak kesepian sendiri. Karena di luar rumah, banyak penyihir seperti Otero Tero, yang dapat berpura-pura baik, namun menyimpan maksud yang jahat,” papar Vanda sembari sekali-sekali menyeruput kopi.
Operet ini muncul dari keprihatinan Vanda. Ia melihat, di berbagai media massa, tampilan kekerasan datang bertubi-tubi. Mutilasi, pembunuhan, penculikan, perampokan, dan lain-lain. “Tapi, saya yakin, para pelaku kejahatan itu, saat kecil pasti juga lucu-lucu dan polos. Namun, karena ada yang mengambil hatinya, maka mereka dapat berbuat jahat dan tega pada sesamanya,” katanya.
Permasalahan ekonomi, terutama kemiskinan, menurut istri Ferdinand Makahanap, SH ini, menjadi penyebab utama. “Ujung-ujungnya duit!” tegasnya. Pemerintah harus lebih peduli dengan mengalokasikan anggaran negara pada anak-anak. Dengan demikian, akan banyak anak-anak di Indonesia yang tertolong dan diselamatkan. Orangtua pun harus menaruhkan hatinya pada anak-anak. Karena, masalah ekonomi membuat manusia mudah menukarkan hati dengan uang atau apapun. “Mencuri atau tidak? Korupsi atau tidak? Kalau tidak, tidak bisa makan! Itu yang terjadi di masyarakat,” papar Vanda.

Mesin ketik
Mendongeng atau menulis naskah operet, bukanlah hal baru bagi ibu tiga anak ini. Saat Vanda kecil, Bapaknya rajin membelikan buku-buku cerita. Ia sangat gemar membaca. Berapa pun buku yang dibeli bapaknya hari itu, pasti habis dilahapnya hari itu juga. Suatu hari, matanya bengkak dan harus dikompres, lantaran terlalu banyak membaca.
Karena gemar membaca, ia tertarik menulis. “Ketika membaca satu cerita, kadang saya tidak setuju dengan akhir ceritanya. Ya, saya menulis ulang cerita itu, dengan akhir cerita yang saya ingini,” kenangnya sembari tertawa renyah. Itu adalah kenangannya saat masih kelas empat SD. Semakin remaja, Vanda makin rajin menulis. Melihat tingkah itu, bapaknya pun membelikan mesin ketik. Mulailah ia mengetik. Ia pun memberanikan diri mengirimkan naskah-naskah yang diketiknya dengan dua jari, ke media anak-anak. Tulisannya dimuat. Vanda pun gembira. Semangatnya menulis makin terpompa. Saat tingkat pertama kuliah, ia diminta mengajar Sekolah Minggu. Ketika Paskah atau Natal tiba, Vanda pun selalu diminta membuat operet kecil-kecilan untuk dipentaskan di gereja.

Mendongeng
Vanda lahir sebagai anak Pulau Sangir. Ia di sana hingga usia empat tahun. Pulau Sangir terletak di selatan Filipina. Jika menumpang pesawat terbang kecil dari Madano memakan waktu tempuh sekitar 45 menit. Namun, jika melalui jalur laut, baru sampai sekitar 12 jam kemudian.
Vanda masih menyimpan kenangan masa kecil di Sangir. Rumahnya berada dekat dengan pantai. Setiap hari ia bisa melihat pantai dengan pasir putih dan laut yang membiru. Jernih dan bersih. Di samping rumahnya, rak kayu berundak-undak membujur. Di atasnya, dihiasi tanaman bunga anggrek beragam jenis. Itu adalah kegemaran ibundanya. Nama Vanda diperoleh dari sang ibunda yang gemar anggrek. Vanda adalah sejenis anggrek. Tahun 1996, ia sempat melonggok tanha kelahirannya itu. Ingatan-ingatan masa lalu itu, seperti tak pernah terbang hilang. Ingatan-ingatan itu pun muncul dalam Operet Bobumba yang dipentaskan pada tahun lalu di Balai Sidang Jakarta.
Bagi Vanda, dongeng memiliki satu kekuatan yang besar. Dongeng adalah alat. Berbeda dengan nasihat langsung yang kadang justru ditolak anak-anak. Dongeng, menurut Vanda, alat untuk memberi nilai-nilai melalui alam bawah sadar anak-anak. Melalui tokoh, alur dan latar cerita, nilai-nilai itu ditaburkan dalam diri anak. Lewat dongeng, anak-anak akan lebih dapat memahami nilai-nilai tersebut. Tidak hanya itu. Dongeng juga dapat disisipi ilmu pengetahuan atau pemecahan masalah. “Dalam dongeng kan kadang ada masalah-masalah, apalagi jika ceritanya tentang kehidupan yang dekat dengan anak-anak. Dari situ orangtua dapat membantu anak untuk belajar mengatasi masalah,” papar Vanda.
Menurut Vanda, dongeng atau cerita untuk anak-anak yang baik, tidak memiliki kesan menggurui. Anak-anaklah yang akan mengambil kesimpulan sendiri atas cerita itu. Memang, kadang anak agak sulit menangkap makna dari cerita itu. “Tapi, biarlah anak menyimpannya dalam alam bawah sadarnya. Saya yakin, kelak anak akan mengerti makna dari cerita itu,” tambah ibu yang saban malam mendongengi ketiga anaknya ini.
Dan, malam makin gelap. Pembicaraan pun harus disudahi. Vanda mesti bergegas pulang. Ketiga anaknya pasti sudah menunggu di peraduan keluarga. Menanti kehangatan dongeng-dongeng pengantar tidur yang mengalir dari hati sang ibu.

Agustinus Wibowo; Menyusuri Negeri Tak Dikenal

”Hidup adalah perjalanan. Kita tidak tahu kapan perjalanan hidup kita akan selesai. Begitu pula, saya tidak tahu kapan petualangan saya ini akan berakhir,” tulis Agustinus Wibowo lewat surat elektronik.

SUDAH tiga tahun, Agus –sapaannya- melakukan perjalanan tanpa jeda. Ia melintasi Asia Selatan dan Tengah melalui jalur darat. Agus memang sedang melakukan misi pribadi berkeliling Asia. Perjalanan dimulai dari Stasiun Kereta Api Beijing, China pada 31 Juli 2005. Ia menuju Tibet, menyeberang ke Nepal, turun ke India, dan menembus Pakistan, Afghanistan, Iran, berputar lagi ke Asia Tengah, diawali Tajikistan, kemudian Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ia menempuh perjalanan itu dengan berbagai ragam alat transportasi, seperti kereta api, bus, truk, kuda, keledai, bahkan berjalan kaki. Agus memang menghindari perjalanan dengan pesawat. ”Perjalanan udara menghalangi saya menyerap saripati tempat yang saya lalui,” ujarnya dalam perbincangan lewat internet beberapa waktu lalu. Ia ingin menyatu dengan budaya, menjalin persahabatan, mencecap kehidupan masyarakat yang dikunjunginya.
Agus memulai perjalanan berbekal 2.000 dolar AS, hasil tabungan saat kuliah di Universitas Tshinghua Beijing, China. Ketika bekal habis, ia menetap sementara di suatu tempat. Ia bekerja apa saja untuk mendapat bekal dan bertahan hidup. Bekal terkumpul, Agus pun melanjutkan petualangan. ”Untung saya hobi fotografi dan menulis. Saya menulis dan menjual foto-foto saya ke beberapa media di China, Singapura dan Indonesia,” tuturnya.

Menjadi turis
Agus lahir di Lumajang, Jawa Timur, tahun 1981 sebagai sulung dari pasangan Chandra Wibowo dan Widyawati. Usai belajar di SMU 2 Lumajang, Agus meneruskan kuliah di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Ia hanya melalui satu semester di ITS. Ia memutuskan pindah kuliah ke Fakultas Komputer Universitas Tshinghua Beijing, China.
Sejak kecil ia memang hobi jalan-jalan. Ia sudah menyimpan harapan untuk berkelana ke negeri-negeri jauh. Sewaktu masih SD, gurunya pernah bertanya tentang cita-cita Agus. Dengan polos, ia menjawab ingin jadi turis. Gurunya berkata, kalau turis itu bukan pekerjaan, bukan cita-cita. Tapi, Agus terus menyimpan mimpi masa kecilnya itu.
Pertama kali, ia pergi ke Mongolia tahun 2002. Ia sangat mengagumi kebesaran alam, gurun pasir, padang rumput, dan danau ciptaan-Nya. Tahun 2003, Agus melawat ke Afghanistan, yang baru saja bangkit dari perang. Pikirannya berkecamuk. “Betapa banyak manusia di muka bumi ini yang luput dari perhatian kita,” pikirnya. Dan, saat tahun 2005, ia mengunjungi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), selepas tsunami. “Saya menyadari betapa mulia tugas wartawan yang mengabarkan kisah-kisah di daerah yang sebagian besar orang tak dapat melihat langsung. Saat itulah saya memutuskan untuk menjadi wartawan dan fotografer,” ceritanya. Cita-cita itu pun terwujud, setelah ia lulus kuliah pertengahan 2005.
Ia telah mewujudkan mimpi menjadi turis. Perubahan itu dimulai tahun 2002. Ketika seorang temannya menantang Agus berpetualang ke Mongolia. Agus juga sangat terinspirasi oleh perempuan asal Jepang, yang pernah keliling Asia Tenggara selama enam bulan. Ia sangat kagum, ketika perempuan Jepang itu bercerita tentang perjalanannya.

Dipukuli
Sejak saat itu, tak ada yang dapat menghentikan langkah kaki Agus. ”Makin sering saya berpetualang, semakin dalam keingintahuan saya tentang hal-hal baru di dunia ini. Dunia ini tidak seluas daun kelor. Ada banyak kehidupan dengan berbagai kebajikan lain di luar sana,” jelas pria muda telah menguasai bahasa Hindi, Urdu, Farsi, Rusia, Tajik, Kirghiz, Uzbek, Turki, Arab, Armenia, dan Georgia. Agus memang suka belajar bahasa asing. Biasanya, ia membeli buku pelajaran bahasa asing sebelum masuk ke negara yang dituju. Menguasai bahasa asing sangat membantu perjalanannya. Misal, ketika ia berjumpa Maois, para pengikut pemikiran Mao Zedong yang berhaluan komunis di Nepal. Karena ia dapat berbahasa Hindi, maka ia tidak dimintai uang. “Malah dianggap teman yang mendukung perjuangan mereka,” ceritanya.
Namun, kemampuan menguasai beragam bahasa, pernah membuat Agus hampir celaka. Ketika di Afghanistan, polisi setempat mencurigai Agus sebagai seorang teroris dari Pakistan. Tanpa sebab musabab, sepasukan polisi memukulinya dengan geram. Agus marah. Ia berteriak dan memaki. Tapi, yang keluar dari mulutnya adalah bahasa Urdu, bahasa nasional Pakistan. ”Harusnya saya berbahasa Inggris, tapi waktu itu spontan yang keluar bahasa Urdu,” ujarnya.
Tak hanya sekali, Agus mengalami kejadian naas. Seorang pengembara mau tidak mau harus berteman dengan marabahaya. Berulangkali ditangkap polisi, ditahan agen rahasia, dipukul preman, dirampok, dan berakrab dengan perut lapar. Agus pun pernah putus asa, lantaran kameranya rusak dan uang bekal dicuri orang. Pernah juga, ia menginap di rumah pelaku kriminal. Ia pun pernah menyelundup melintasi perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan. Dua negara di Asia Tengah. Batas antar negara sengaja dibuat kacau. Sehingga ketika dua negara ini merdeka, mereka tak dapat lepas dari konflik dan sengketa. “Di perbatasan, ada rumah yang dapur di Kyrgyzstan, sementara kamar tidur di Uzbekistan,” ujarnya.

Seni mengembara
Melihat sepak terjang Agus ini, orangtuanya tentu sering khawatir. Masih jelas dalam ingatannya, ketika ia hendak ke Mongolia tahun 2002. Setelah tiga minggu di Mongolia, Agus menelepon ke rumah dan ibunya menjerit saat dengar suaranya. Begitu pula saat ia pergi secara diam-diam ke Afghanistan. Sekembali dari Afghanistan, ia dimarahi habis-habisan oleh ibunya. Namun, kini semua sudah berubah. ”Ayah saya pernah berkata, kamu sudah besar, sudah bisa menimbang sendiri baik buruknya. Kami hanya mengarahkan, tapi kamu sendiri yang memutuskan,” tiru Agus. Orangtuanya pun telah percaya akan pilihan Agus dan mendukungnya.
Bagi Agus, petualangannya bukan bukan sekadar menikmati kemolekan pantai, kesegaran pegunungan atau kemewahan hotel berbintang. Bagian terbaik dari perjalanan, menurutnya, adalah ketika ia menemukan apa yang disebutnya sebagai ’seni mengembara’. ”Ketika kita tidak lagi menjadi diri sendiri, ketika kita kehilangan identitas kita, masa lalu kita, ikatan norma masyarakat yang selama ini mengikat kita, dan pada akhirnya lepas dari jerat yang selama ini memasung kita. Kita menjadi terbuka pada kehidupan dan menerima apa yang diajarkan kehidupan pada kita. Ketika sampai pada titik ini, kita akan melihat dunia dengan mata hati yang baru,” tuturnya. ”Bahkan di lekukan gunung Afghanistan dan padang pasir Pakistan, ada kebijaksanaan maha tinggi dari orang-orang pedalaman yang terlupakan dunia,” tambah Agus.
Agus masih di jalan, entah sampai kapan. Ia menyimpan cita-cita. Ia ingin melihat negeri yang ‘ada namun tiada’ di Afrika, melintasi Kaukasus, Eropa Timur hingga Timur Tengah. Di bagian bumi ini, ada negeri-negeri yang hampir tak pernah terdengar. Abkhazia, Transdniestr, Ossetia, Nagorno Karabakh.
Hidup memang perjalanan. Tujuan bukan yang utama. “Tapi, lika-liku menjalaninya yang paling penting. Perjuangan menuju kebahagiaan tak mudah. Harus melewati berbagai tahap, kesenangan duniawi, kesusahan, kesadaran, pelepasan, pencerahan, hingga akhirnya menyadari bahwa segala sesuatu itu begitu sederhana,” pungkasnya.

22 Agu 2008

Taman Keukenhof

Tunas musim semi kembali bertumbuh. Kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran. Sepoi angin menebarkan semerbak ganda kehangatan. Aku masih duduk sendiri di sebuah bangku kayu Taman Keukenhof. Sebuah taman bunga yang teramat besar.

Beberapa kupu-kupu terlihat menari-nari. Mengitari bunga-bunga yang berwarna-warni. Seperti angan yang terus menari-nari di antara pelupuk mataku. Masih jelas terngiang di tambur telingaku percakapan satu minggu yang lalu dengan ibu.

“Ibu, waktu tiga tahun masih teramat singkat bagiku untuk melupakannya.”

“Nak, sudah saatnya kau memikirkan kembali janji perkawinanmu dulu ‘sampai maut memisahkan’. Dan kini, maut telah membawa kematian istrimu. Kematian telah memisahkan kalian berdua.”

“Namun, kematian bukanlah berarti mengijinkan aku untuk menikah lagi, Bu.”

“Joan, usiamu masih sangat muda dan kedua anakmu tentu membutuhkan perhatian dan belaian kasih sayang dari seorang ibu. Kau tidak boleh terlalu larut dalam duka!”

“Tidak, Ibu! Aku sudah tidak berduka. Dukaku telah aku kubur. Aku pun sudah berusaha untuk melupakan Anggit. Tapi semakin aku berupaya untuk tidak mengingatnya, bayangan wajahnya justru semakin melekat di hatiku. Anggit telah menjadi bagian dari hidupku. Ia telah menjadi belahan jiwa.”

“Ibu sangat tahu kau berbahagia bersama Anggit. Ibu pun sangat bahagia melihat kalian berdua berbahagia. Tapi kau tidak dapat hidup dengan masa lalu, Nak! Anggit telah menjadi masa lalumu. Kau kini hidup dalam realita dan masa depan kedua anakmu.”

“Aku masih sangat mencintai Anggit, Bu!”

“Dengan selalu pergi ke Taman Keukenhof?”

“Apa itu salah, Bu?”

“Tidak, Joan! Kau tidak salah. Tetapi itu akan selalu membuka masa lalumu.”

“Aku pertama kali bertemu dengan Anggit di Taman Keukenhof. Ketika itu kami masih sama-sama kuliah. Dan di sana pula aku untuk pertama kalinya menyatakan cintaku pada seorang perempuan. Dan di sana juga aku melamarnya untuk menjadi pendamping hidupku untuk selamanya. Hampir setiap tahun kami selalu berkunjung ke sana. Melihat bunga-bunga yang bermekaran. Indah sekali. Banyak kenangan tersimpan di sana, Bu!”

“Jangan kau larut dalam kenanganmu itu, Nak!”

“Cintaku ada di sana, Bu! Bunga-bunga itu selalu menampilkan wajah Anggit. Sosoknya yang bersahaja penuh senyum dan selalu memancarkan kasih sayang tiada hentinya. Selalu memberi tapi tak pernah berharap kembali. Dan itu sangat mendorongku untuk lebih mencintai kedua anakku. Lesung pipit Lorens dan tawa Alex adalah bayangan dirinya. Taman Keukenhof telah menjadi saksi cinta kami. Tempat kami saling menabur benih-benih cinta, menyiraminya sepanjang waktu dan menuai buah-buah kebahagaian.”

“Joan, Anggit telah tiada. Dan kau harus hidup dalam realita. Tataplah ke depan! Kau harus berani hidup tanpa bayang-bayang wajah Anggit. Kau membutuhkan pendamping hidup yang nyata dan ada di sisimu. Seorang istri yang akan mengasuh dan mengasihi kedua anakmu. Serta selalu menemanimu setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun dan untuk selamanya. Joan, jangan kau pergi ke Taman Keukenhof lagi!”

“Tidak, Bu! Aku masih belum dapat melupakan Anggit. Aku masih merasa ia ada di sampingku.”

“Nak, kelak kau akan merasakan apa yang Ibumu rasakan. Satu persatu anakmu akan pergi. Kau akan ditinggalkan orang-orang yang selama ini kau cintai. Mereka akan membentuk dunia mereka sendiri. Dan kau pun akan sendiri. Hanya berteman sunyi dan berdampingan dengan sepi.”

“Itu yang Ibu rasakan setelah ayah pergi?”

“Yah, sepeninggal ayahmu, Ibu merasa hidup sendiri. Makanya Ibu ada di sini. Membuang rasa sepi. Menawarkan sunyi. Tapi, tentu Ibu tak dapat lama tinggal di sini. Rumah tak ada yang merawat.”

“Ibu sudah mau pulang ke Indonesia?”

“Cepat atau lambat, ibu harus pulang. Ibu di sini hanya ingin mendorongmu untuk kembali menetap ke masa depan. Bukan maksud Ibu untuk mencuri kenangan kebahagiaanmu bersama almarhumah istrimu.”

“Perlukah aku untuk menikah lagi, Bu?”

Ibu tak menjawab pertanyaanku. Ia berdiri dan mendekatiku. Duduk di sampingku. Ia memelukku dengan hangat dan lembut. Ia menatap wajah Anggit yang terpampang di dalam sebuah bingkai foto. Aku sengaja mengantung foto Anggit di ruang tengah, agar aku dapat menatapnya setiap waktu.

“Ia memang cantik. Cantik sekali. Matanya selalu memancarkan kasihnya. Senyumnya selalu menebarkan kebahagiaan. Pantas kau memilihnya, Nak!”

“Tidak mudah menemukan perempuan seperti Anggit, Bu! Biarlah waktu lebih lama bagiku. Setelah anak-anak lebih dewasa untuk menerima kehadiran seorang perempuan lain sebagai pengganti ibunya. Dengan segala kelebihan dan tentu kekurangannya.”

“Kau memang keras kepala seperti ayahmu.”

“Tapi Ibu sangat mencintai ayah, kan?”

“Ayahmu kadang tak mau mendengarkan pendapat orang lain. Ia berpendirian teguh. Maunya menang sendiri!”

“Dan ibu sangat bahagia hidup bersama ayah?”

“Tentu”

“Meskipun ayah seorang yang keras kepala?”

“Itu hanya salah satu sifatnya saja.”

“Kalau demikian, keras kepala dalam satu hal saja, tidak mengapa bukan?”

“Apakah itu wujud kesetiaanmu pada Anggit?”

“Ibu yang mengajariku. Ibu telah menunjukkan kesetiaan yang luar biasa pada ayah. Meski ayah seorang yang keras kepala, Ibu dengan sangat sabar mendamping ayah hingga akhir hayatnya. Bahkan sampai sekarang aku masih dapat melihat kesetiaan itu memancar dari lubuk hati ibu.”

“Kau masih muda, sedang Ibumu ini sudah terlalu tua, Nak.....” Ibu terdiam sesaat. Meski usianya yang mulai menjelang kepala tujuh, Ibu masih terlihat sangat bijaksana. Kepikunan belum tersirat dalam ketuaan wajahnya. Meski kerut-kerut di raut mukanyanya semakin menonjol, aku masih dapat melihat kecantikan menebar dari wajahnya. Mungkin ini karena ia adalah seorang mantan bidan di desa. Maka makna hidup sangat mengendap dalam di hatinya. Dan sangat berarti dalam menjalani hidupnya. Ia terlalu sering membantu orang-orang yang miskin, yang tak mampu membayar biaya persalinan. Ia terlalu sering membukakan jalan bagi kehidupan yang baru.

“Tuhan telah memberi kita waktu untuk menabur, waktu untuk memelihara, dan waktu untuk memanen. Tuhan memberi kita waktu untuk mencintai dan dicintai, waktu untuk menyayangi dan disayangi, waktu untuk mengasihi dan dikasihi. Kita boleh mengatur waktu, tetapi Tuhan yang menentukan segalanya. Kini, keputusan ada di tanganmu, Nak! Dan Ibu yakin apa pun keputusanmu, itulah yang terbaik untukmu dan kedua anakmu itu.”

“Terima kasih, Bu!”

Aku kecup kening dan kedua pipi Ibuku. Aku memeluknya erat. Erat sekali. Kami pun larut dalam pelukan yang penuh kehangatan kasih sayang.

“Joan, minggu depan Ibu akan pulang ke Indonesia. Bolehkah anak-anakmu ikut dengan Ibu?”
“Tentu saja, Bu! Nanti akan saya tanyakan pada mereka berdua.”

Satu minggu kemudian, aku mengantar ibu dan kedua anakku ke Bandara Schiphol di Amsterdam. Sebenarnya ada rasa berat dalam hatiku.

“Hati-hati, ya! Kalian tidak boleh nakal di sana! Ayah pasti merindukan kalian.” ucapku sembari mengecup kening Alex dan Lorens.

“Ayah juga hati-hati, ya! Aku juga pasti rindu ayah!” balas Lorens.

Pesawat perlahan bergerak. Dan akhirnya lepas landas. Meningalkanku dalam kesendirian. Aku masih berdiri memandangi pesawat hingga termakan gumpalan awan putih. Ada sedikit air yang menggantung di kedua pelupuk mataku. Aku segera menghapusnya.

Kini, semua harus kukerjakan sendiri. Kujalani sendiri. Kesunyian mulai menyelimutiku. Kesepian serasa bergelayut dan mencengkeram hatiku. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku. Mungkin benar yang dikatakan Ibu. Sudah hampir lima belas tahun, aku tak pernah sedetik pun tinggal di rumah sendiri. Semua kujalani bersama.

Aku masih duduk sendiri di bangku kayu Taman Keukenhof. Secangkir kopi telah kuhabiskan. Orang berlalu lalang tanpa menghiraukan keberadaanku sedari tadi. Sepasang kekasih terlihat sedang berciuman mesra di tengah rimbunan bunga-bunga yang berwarna-warni. Membuat hatiku iri.

Namun, sejurus kemudian, aku terhenyak. Aku mencium bau wewangian yang sangat aku kenal. “Anggit...!” bisikku dalam hatiku.

Seorang perempuan bergaun putih bersih melenggang pelan di depanku. Beberapa jenak ia berhenti. Menoleh ke arahku dan melemparkan sebuah senyum. Lalu berjalan menjauhiku.

“Ya, Tuhan, mimpikah aku? Bau parfum itu...gaun putih itu...senyum itu... Bukankah itu Anggit?” tanyaku pada diriku sendiri.

Aku segera bangkit dari tempat dudukku. Dengan perlahan mengikuti perempuan itu. Aku terus mengikutinya hingga perempuan bergaun putih itu berhenti. Perempuan itu mengambil duduk di bangku kayu di bawah sebuah pohon. Aku segera menghampirinya.

“Mengapa ia sangat mirip dengan Anggit, istriku?” Aku bingung. Bulu kudukku berdiri. Jantungku berdegup cepat sekali. Rasa takut semakin menguasai diriku. Aku memberanikan diri untuk duduk di sampingnya. Perempuan itu diam. Kepalanya tertunduk.

“Siapa kamu?” tanyaku padanya.

Ia tak segera menjawab. Untuk sekian lama kami terdiam. Dengan sangat pelan-pelan perempuan itu mengangkat wajahnya. Matanya menatap ke arahku. Senyumnya tersungging lembut di bibirnya.

“Ya, Tuhan!” ucapku dalam hati. Aku beringsut dari tempat dudukku. Mencoba menatapnya dalam.

“Kau sudah tak mengenalku, Mas?”

Aku diam. Tak menjawab pertanyaan.

“Aku Anggit, Mas! Istrimu!”

“Tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Kau bukan istriku! Istriku telah meninggal tiga tahun yang lalu!”

“Parfum yang aku pakai dan gaun pengantin ini! Kau sudah melupakannya, Mas?”

Aku kembali diam. Tak percaya dengan apa yang sedang terjadi di hadapanku. Parfum itu memang milik Anggit. Begitu juga gaun pengantin itu. Gaun itulah yang ia pakai saat menikah denganku. Itu semua milik Anggit!

“Yah..., Taman Keukenhof! Di sinilah kita pertama kali bertemu. Di sini pula kau nyatakan cintamu padaku. Dan di sini pula kau melamar aku untuk menjadi istrimu. Di taman ini pula, kita sering menghabiskan waktu bersama...”

Ia terdiam beberapa saat.

“Oh, ya Mas, bagaimana kabar Alex dan Lorens, anak kita? Mereka baik-baik saja, bukan?”
“Tidak! Tidak!”

Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku masih tidak percaya dengan kejadian yang ada di depan mataku.

“Aku tahu, Mas, kau sangat kesepian semenjak kepergiaanku. Aku juga tahu, kau masih sangat mencintaiku. Aku pun masih mencintaimu, Mas! Maka dari itu aku datang menemuimu. Tapi kau tak boleh menyiksa dirimu seperti ini, Mas! Kau tak boleh larut dalam kesepian ini terus-menerus. Kasihan Alex dan Lorens!”

“Kau...kau...kau bukan istriku. Istriku sudah mati. Sekarang kau pergi dari sini! Pergi kataku! Pergiiii!!” aku berteriak sekeras-kerasnya.

“Aku memang sudah pergi, Mas! Kita tak mungkin bersama-sama lagi. Kita pernah bertemu, tapi kini kita telah berpisah. Aku tak mungkin lagi hadir dalam kehidupanmu. Carilah penggantiku, Mas! Berilah anak-anak kita ibu yang baru. Ibu yang akan selalu mengasihi dan mencintai mereka. Serta mendampingimu setiap waktu.”

“Pergiiiii..!” teriakku sekali lagi.

“Baiklah, Mas! Aku akan segera pergi! ” katanya terbata.

Perempuan itu lalu berdiri. Aku melihat pipinya basah. Air mengalir dari matanya. Ia menunduk dan berlalu sambil menghapus air matanya. Dengan langkah gemulai ia berjalan meninggalkanku. Aku terus memandangi kepergiannya. Bunga-bunga Taman Keukenhof menelan sosok perempuan itu.

“Benarkah perempuan itu Anggit, istriku?”

Aku ragu. Aku bimbang. Aku tak tahu apa sedang terjadi dalam diriku.
Aku masih duduk sendiri di bangku kayu Taman Keukenhof. Kuhempaskan punggungku ke sandaran bangku. Tubuhku lemas sekali. Sendi-sendiku terasa mau lepas. Jantungku masih berdegup kencang. Kudongakkan kepalaku. Mataku basah. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Tanganku dingin sekali.

Aku berdoa pada Tuhan, agar Dia segera mengirimkan malaikat-malaikat-Nya ke sini. Menjagai aku. Menemani aku. Aku yang masih duduk sendiri di bangku kayu Taman Keukenhof.

“Tuhan, aku tak mau sendiri lagi!”

maret 2007
(dimuat di Majalah FEMINA)