28 Nov 2019

Kerja, Kerja, Mau Maju, Yuk Minum Jamu!

“Biasanya kalau pagi sebelum beraktivitas, saya minum jamu. Jamu ini adalah campuran dari temulawak, jahe, dan kunyit,” ujar orang nomor satu di Indonesia alias Presiden RI Joko Widodo atau Jokowi. Ujaran itu, ia ungkapkan melalui vlog.

Tak cukup itu, Presiden Jokowi lantas menunjukkan jamu racikannya.

Jokowi mengajak wartawan minum jamu. (Ist.)


“Jahe ditumbuk atau dirajang-rajang (diiris-iris), temulawak, kunyit juga, kemudian di seduh air panas, di saring kemudian diminum,” paparnya. “Ini sudah saya minum mungkin 17 sampai 18 tahun yang lalu dan masih saya minum sampai sekarang,” imbuhnya.

“Saya rasa akan memberikan manfaat baik bagi kebugaran tubuh. Ingin mencoba? Ya dibuat sendiri!” tutupnya.

“Jamu Jokowi” ini memang bukan rahasia lagi. Sejak terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta dan kemudian menjadi Presiden RI, banyak orang bertanya “rahasia” kebugaran Jokowi. Rahasianya memang telah terkuak, salah satunya yaitu jamu racikan temulawak, jahe, dan kunyit.

Nah, yang menjadi pertanyaan, mengapa temulawak, jahe, dan kunyit dapat menjaga kebugaran tubuh? Yuk intip manfaat temulawak, jahe, dan kunyit!

Temulawak
Curcuma xanthorrhiza Roxb alias temulawak merupakan bahan rempah yang sudah amat populer di Indonesia. Selain bisa menjaga kebugaran raga, temulawak juga bisa mengatasi perut kembung dan diare. Dilansir dari Clinical Gastroenterology and Hepatology, pasien dengan gangguan pencernaan berangsur membaik jika mengonsumsi temulawak secara teratur.

Temulawak (freepik)
Para pakar kesehatan, melalui aneka penelitian juga menyimpulkan bahwa kandungan dalam temulawak dalam mengatasi masuk angin dan sakit kepala. Bahkan sebuah jurnal kesehatan, The Prostate, mengungkapkan bahwa temulawak memiliki kandungan aktif yang bisa membantu pengobatan kanker, seperti kanker payudara, kanker prostat, dan kanker usus. Jurnal itu didukung penelitian di University of Maryland Medical Center yang menyebutkan, nutrisi dalam temulawak bisa membunuh perkembangan sel kanker dengan efektif.

Jahe
Nah, sekarang giliran jahe. Selama ratusan tahun, jahe telah terbukti memiliki manfaat bagi tubuh manusia. Selain sebagai bumbu masakan, jahe juga dimanfaatkan untuk mengobati aneka penyakit. Rutin minum seduhan jahe terbukti dapat mencegah dan mengurangi peradangan yang disebabkan nyeri osteoarthritis dan rematik.

Jahe (freepik)
Kandungan aktif, seperti gingerol, gingerdione, dan zingeron dalam tanaman rimpang yang memiliki nama ilmiah Zingiber officinale ini memang telah diteliti mampu mengatasi nyeri peradangan dalam tubuh. Selain itu, sebuah penelitian di Iran membuktikan jahe dapat menurunkan gula darah puasa dan kadar HbA1c dalam darah. Orang pengidap diabetes tipe 2 yang minum seduhan jahe nyatanya mengalami penurunan gula darah puasa yang cukup drastis.

Kunyit
Curcuma longa alias kunyit tak cuma mampu menyedapkan santapan. Rempah berkelir kuning ini juga memiliki kemampuan menjaga kesehatan dan sebagai obat herbal. Kunyit sudah sejak lama populer digunakan sebagai obat gangguan pencernaan. Jurnal Pharmacognosy Reviews menyebutkan bahwa kandungan efek curcumin bisa mengobati peradangan akibat luka, terutama di saluran pencernaan. Hal ini juga bermanfaat untuk mengurangi kekambuhan gejala maag.

Kunyit. (freepik)
Selain itu, kandungan curcumin juga bisa menjadi anti alergi. Kunyit bekerja seperti antihistamin yang menghambat peradangan serta mencegah pelepasan histamin, zat pemicu reaksi alergi.

Jantung juga mendapat asupan manfaat dari kunyit. Mengkonsumsi air kunyit saban pagi dapat membantu jantung tetap sehat. Curcumin yang terkandung dalam kunyit bisa menghalau plak atau kotoran dalam pembuluh darah, sehingga mencegah pengumpalan darah di jantung.

Kuy, itulah manfaat tiga rempah yang menjadi “jamu Jokowi”.

Racikan Tradisional, Teknologi Modern

Namun, kini jaman serba canggih. Teknologi pengolahan makanan dan minuman kian berkembang pesat. Meracik jamu ala Jokowi itu tentu akan memakan waktu lama. Bisa-bisa, harus bangun pagi lebih awal atau terlambat masuk kerja. Tentu kita tak mau dua-dua.

So, jangan bimbang dan ragu. Kini telah hadir kepraktisan meminum jamu ala Jokowi. Konimex menghadirkan Herbadrink, minuman herbal alami yang menyehatkan dalam kemasan sachet. Minuman ini diracik dengan resep tradisional dan diproses melalui teknologi modern. Selain menyehatkan, minuman ini juga praktis; tinggal sobek, sedu, lalu minum.

Herbadrink hadir dengan aneka varian, seperti Herbadrink Sari Jahe, Herbadrink Sari Temulawak, Herbadrink Kunyit Asam, dan yang lain. Yuk kita bahas satu-satu!

Herbadrink Sari Jahe mengandung ekstrak jahe 9,5 gram, gula, dan bahan lainnya. Satu sachet Herbadrink Sari Jahe disedu dengan satu gelar air panas, atau sekira 150 mililiter. Selain untuk menghangatkan badan, seduhan Herbadrink Sari Jahe ini juga mampu mengatasi perut kembung dan masuk angin.

Herbadrink Sari Jahe. (y.prayogo)
Herbadrink Sari Temulawak juga memiliki manfaat bagi kebugaran dan kesegaran raga. Dengan kandungan ekstrak temulawak 470 miligram, gula, dan bahan lainnya, Herbadrink Sari Temulawak bisa membantu memelihara kesehatan hati. Cara mengkonsumsi Herbadrink Sari Temulawak sama dengan Herbadrink Sari Jahe.

Herbadrink Sari Temulawak. (y.prayogo)
Kunyit asam adalah racikan jamu paling favorit di kalangan per-jamu-an. Jamu kunyit asam memiliki manfaat sebagai anti bakteri, anti radang, dan antioksidan. Nah, Herbadrink Kunyit Asam hadir dengan kandungan ekstrak kunyit 8,7 gram, ekstrak asam Jawa 1,9 gram, gula, dan bahan lainnya.

Herbadrink Kunyit Asam. (y.prayogo)
Selain varian-varian tersebut, Konimex juga menghadirkan varian lain seperti Herbadrink Beras Kencur, Herbadrink Chrysanthemum (Sugar Free), Herbadrink Sari Jahe (Sugar Free), Herbadrink Sari Temulawak (Sugar Free), dan Herbadrink Lidah Buaya (Sugar Free). Semua itu merupakan racikan resep-resep tradisional yang diolah dengan teknologi modern.

Kini, minum jamu tak perlu menunggu Mbok Jamu lewat depan rumah atau meracik sendiri. Semua itu butuh waktu dan tenaga. Kehadiran aneka varian Herbadrink ini menjadi solusi bagi kita yang mendamba manfaat dan khasiat resep jamu tradisional dengan cara yang praktis; cepat dan mudah.

Nah, jika kita ingin menjaga kebugaran dan kesegaran raga sepanjang hari di tengah aktivitas yang super sibuk seperti Pak Jokowi, telah tersedia racikan jamu tradisional dalam kemasan modern; Herbadrink Sari Jahe, Herbadrink Sari Temulawak, Herbadrink Kunyit Asam. Yuk minum jamu, agar bisa terus kerja, kerja, dan maju! Minum jamu, Indonesia maju! #KebaikanAlami

9 Feb 2019

Pencarian Fu di Sewugunung



Judul       : Bilangan Fu
Penulis    : Ayu Utami
Penerbit   : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2008
Tebal       : x + 537 halaman


SANDI Yuda, Parang Jati, dan Marja berkelindan dalam kisah segitiga eros yang lembut. Yuda, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang kerap melecehkan nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Parang Jati, bagai malaikat yang berjari dua belas, yang dibentuk ayah angkatnya agar menanggung seluruh duka manusia. Marja, gadis yang memiliki tubuh bak kuda teji dan berjiwa matahari. Bertiga memanjat tebing di pegunungan kapur dekat Desa Sewugunung, di kawasan pantai selatan Jawa.


Sewugunung gempar. Satu penduduk desa mati. Jenazahnya hilang dari makam. Warga Sewugunung yakin, ia memiliki kesaktian. Tapi yang lain menganggap ia musyrik, sehingga mayatnya ditolak bumi. Perseteruan antara yang yakin diri “gaib” dengan yang yakin diri “kudus” kian seru dengan masuknya wajah kapitalisme dalam bentuk perusahaan tambang. Deru mesin telah siap sedia menggerus gundukan-gundukan kapur. Sandi Yuda, Parang Jati, dan Marja juga tercebur dalam pusaran itu.


Ketika sedang berayun-ayun di sebuah tebing, Sandi Yuda seperti memperoleh “wangsit” tentang bilangan fu. Fu bilangan tak berwujud. Fu bukan satu atau nol atau yang lain. Yuda terobsesi memecahkan rumus yang diciptakan sendiri itu. Rumus fu memang bukan logika matematika. Fu sebuah pencarian.


Pencarian fu, menurut penulis novel ini, Ayu Utami, merupakan pencarian spiritual. Pencarian yang menuntun Sandi Yuda bertemu dengan Parang Jati, mahasiswa geologi Institut Teknologi Bandung.
Parang Jati memiliki adik bernama Kupukupu. Lantaran kemelaratan akut, Kupukupu menjelma menjadi penganut agama yang radikal, yang menegakan keyakinan agama dengan pedang; yang mengucapkan “Tuhan” dengan berteriak-teriak. Ia menganggap upacara sesaji dan kepercayaan kepada Nyi Roro Kidul bagian dari musyrik. Parang Jati beda. Ia mendukung sesajen, takhayul, dan berbagai mitos yang diyakini orang-orang desa.


Cara beriman Kupukupu memicu kekacauan dan kekerasan di Sewugunung. Ia menghimpun pasukan berjubah dan menghardik para penyekutu Tuhan. Ia juga berselingkuh dengan perusahaan tambang yang akan merobohkan Watugunung. Ia memancing kehadiran pasukan ninja yang membunuh kiai dengan isu dukun santet.


Itulah sengkarut dalam novel yang mengambil latar waktu 1998-2001. Lewat bentrokan antara tokoh dan kisah, alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini menyusupkan kritik terhadap cara beragama atau berkeyakinan.


3M
Silang sengkarut di Sewugunung menghentak pemikiran modern dan cara beriman monoteisme. Pemikiran yang terlampau mengagungkan rasio, sampai-sampai meremehtemehkan nilai-nilai tradisi yang ramah pada alam. Pemikiran dan keyakinan yang merasa diri “paling kudus”, membuat abai terhadap keberadaan sesama.


Novel yang menyabet Khatulistiwa Literary Award 2008 ini menyinggung tentang 3M yang menyebabkan “kehancuran” manusia, yaitu monoteisme, modernisme, dan militerisme. Agama-agama monoteisme, dalam praktik cara berimannya kadang masih menganggap rendah agama-agama lokal sebagai penyembah berhala. Dengan memberikan label “sesat”, musyrik, dan yang lain, penganut keyakinan lokal halal untuk diusir, disakiti, bahkan dienyahkan. Padahal agama-agama lokal tumbuh dan berbuah di tengah lokalitas yang amat arif terhadap alam sekitar.


Bilangan Fu merupakan novel yang ditulis Ayu Utami dengan latar belakang meningkatnya kekerasan atas nama agama pada awal masa Reformasi. “Saya persembahkan ‘untuk Indonesia, yang dengan sedih aku cinta’,” tulis putri Bernadetta Suhartinah ini di laman milik pribadi.


Militerisme musuh demokrasi. Kisah Bilangan Fu mengambil latar di era awal gelombang reformasi yang menghantam rezim Orde Baru. Dan Orde Baru kaya akan aneka bentuk militerisme yang masih terus terwariskan hingga masa kekinian.


M yang ketiga adalah modernitas yang dipelihara dengan kemanjaan-kemanjaan kapitalisme. Segala dipandang dalam kacamata matematika ekonomis, termasuk cara menghidupi keyakinan.


Ketiga M ini kadang nampak berjalan sendiri-sendiri. Namun, kerapkali berjalan beriringan membentuk barisan yang padu, yang abai terhadap sesama, yang abai terhadap alam ciptaan-Nya.



Landung Simatupang dalam peluncuran Bilangan Fu (foto:y.prayogo)
Spiritualisme kritis
Penulis novel Saman (1998) ini, dengan sangat kental meniupkan nafas spritualisme kritis pada Bilangan Fu. Ia mengangkat wacana spritual-keagamaan, kebatinan, dan mistik. Ayu Utami sepertinya ingin membedakan agama dan spiritual. Agama formal tak lebih dari seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan kepada pengikutnya. Agama formal bersifat top-down, diwarisi dari rasul, pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga atau tradisi.


Bilangan Fu memberi tawaran cara beragama yang baru, yakni dengan laku kritis. Tapi kritis yang tidak membabi buta. Ia juga sama sekali tidak anti, apalagi membenci. Kritis terhadap ajaran-ajaran agama, mampu melihat nilai-nilai luhur pada agama asli dan kritis pada agama sendiri agar tak terperosok pada kesombongan dan monopoli kebenaran.


Laku kritis memberi kesadaran agar tak hanya memandang ke langit dan hidup demi surga. Karena manusia hari ini -dan kelak anak keturunannya- masih tinggal di bumi yang sama. Salah satu keutamaan nilai-nilai keyakinan lokal adalah memelihara alam lingkungan, demi kelangsungan hidup bumi dan anak-anak generasi nanti. Agama-agama nenek moyang meyakini bahwa ada penunggu dalam pepohonan, ada penjaga gaib di gunung-gunung, ada penguasa di dasar samudera. Hal ini perlu dilihat secara kritis, bahwa ada nilai kebijaksanaan agar berhati-hati mengolah alam dan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan.


Dosen Universitas Paramadina Jakarta, Luthfi Assyaukanie mengatakan, ide Ayu Utami sederhana, yakni animisme itu lebih ramah, menganggap alam sebagai subjek yang dipuja sehingga tidak pernah dirusak. “Sebaliknya, ketika kita menganut monoteisme, alam adalah objek yang dieksploitasi demi kemaslahatan hidup orang banyak. Monoteisme mengajarkan pada kita agar memperbaiki akhirat, namun merusak dunia,” ujarnya dalam peluncuran Bilangan Fu satu dasawarsa lalu.


Pencarian Bilangan Fu tak pernah berhenti atau berlalu begitu saja. Ayu Utami terus mencari dengan Simple Miracles (2014), Banal Aesthetics & Critical Spiritualism (bersama Erik Prasetya) (2015), dan Menulis dan Berpikir Kreatif Cara Spiritualisme Kritis (2015 & 2017).


Pencarian dengan laku kritis menuntut kesabaran memanggul kebenaran, agar tak jatuh menjadi ego yang mengalahkan kebaikan. Kritis untuk tidak menganggap kepercayaan orang lain hanya sekadar dongeng dan kemusyrikan penyembah berhala. Dan sadar bahwa iman diri sendiri juga bisa menjadi takhayul bagi orang lain. Karena kebenaran sejati masih menjadi misteri di kala depan, bukan kala sekarang. Kebenaran tak perlu dipaksakan. Ia boleh tertunda esok hari nanti, asalkan kebaikan memenuhi hari ini.


Bilangan Fu, bilangan metaforis, bukan matematis. Spiritual memang bukan rasional. Bilangan Fu merupakan sebuah pencarian yang tak kunjung berujung, bagai mendaki seribu gunung.