20 Nov 2013

Tujuh Sahabat Petualang Mencari Tujuh Surga Tersembunyi



BENDERA start dikibar-kibarkan Direktur Marketing PT Astra Daihatsu Motor, Amelia Tjandra di halaman Vehicle Logistic Center (VLC) Daihatsu di kawasan Sunter, Jakarta Utara, Selasa, 1 Oktober 2013. Lima unit Terios TX MT dan dua unit Terios TX AT, keluaran terbaru Daihatsu ini segera menderu dan melaju di jalanan ibukota, Jakarta. “Ini merupakan Terios 7 Wonder jilid kedua. Sahabat Petualang yang terdiri dari para blogger dan jurnalis bisa merasakan sensasi Terios terbaru menjelajahi tujuh tempat terbaik dalam Hidden Paradise di Jawa hingga Pulau Komodo,” kata Amelia Tjandra.


Ya, ini adalah petualangan Terios jilid kedua. Pada jilid pertama, Terios telah sukses menaklukkan Pulau Sumatra dalam “Terios 7 Wonder: Sumatera Coffee Paradise”. “Perjalanan ini telah membuktikan ketangguhan Terios dalam menaklukkan berbagai medan jalan dalam rangkaian kegiatan Terios 7 Wonders: Hidden Paradise. Ekspedisi ini membuktikan, Terios adalah sahabat yang tepat untuk berpetualang. Kami juga berharap peserta dapat berbagi cerita tentang destinasi-destinasi menarik ini kepada masyarakat agar semakin ramai dikunjungi wisatawan” ujar Domestic Marketing Division Head PT Astra Daihatsu Motor, Rio Sanggau.

Surga Sawarna
Tak lama berselang, iring-iringan tujuh Terios: Sahabat Petualang telah menari-nari di jalanan berkelok di kawasan Ciawi serta perbukitan Sukabumi. Jalan menanjak dan menurun yang cukup terjal dengan mudah dan nyaman ditaklukkan Terios yang dibekali mesin 1500cc VVTi ini.

Usai meliuk-liuk di jalan pegunungan, Terios melaju menuju Pelabuhan Ratu. Rasa bosan mulai menggelanyut. Untunglah, kejenuhan itu dapat diatasi dengan fasilitas dalam Terios keluaran baru ini: koneksi USB, Aux dan MicroSD yang memungkinkan para penumpang mendengarkan musik langsung, baik dari MP3-player maupun smartphone.

Panorama perbukitan segera beralih menjadi pemandangan pesisir pantai menuju Desa Sawarna. Aroma pantai selatan Pulau Jawa segera menyambangi tim ekspedisi ini. Sawarna menyimpan panorama pantai yang dipadu dengan batu-batu karang. Deburan ombak di Sawarna mulai dilirik para peselancar mancanegara dan domestik. Sawarna juga menyimpan beberapa gua yang menampilkan stalaktit dan stalakmit yang elok.

“Sawarna Beach is nice. Soft brownish white sand and blue water stretched far from east to west,” tulis salah satu blogger yang turut dalam tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise, Murni Amalia Ridha alias Mumun di laman pribadinya.
 
Susur Pantai Selatan
Setelah semalam melepas lelah di Sawarna, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise menempuh perjalanan sekitar 600 kilometer dari Sawarna menuju Yogyakarta melalui jalur selatan Pulau Jawa. Usai mentari membuka hari, tim pun bertolak. Selepas Sukabumi, tim memutuskan masuk ke jalan tol Padaleunyi menuju Tasikmalaya. Kondisi jalan yang lenggang, membuat tujuh Terios ini dipacu dengan kecepatan cukup tinggi.

Keluar dari jalan tol Padaleunyi, tujuh Terios ini harus berhadapan dengan tanjakan dan turunan berkelok yang cukup terjal di jalur Nagreg. Lagi-lagi, tujuh New Terios dengan transmisi manual 5 percepatan ini tampil handal dan lincah.

Perjalanan lanjut ke Banjar hingga membawa tim menuju perbatasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah. Kali ini, New Terios menghadapi jalan yang sempit dan datar. Jalur Banjar menuju Yogyakarta cukup padat. Bus dan truk mendominasi jalanan. Arena ini menjadi tantangan untuk menguji tenaga mesin dari SUV 7 penumpang ini dalam menyalip dan meliuk di jalan dua lajur ini.

Offroad di Kaki Merapi
Dari Kota Gudeg, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise mendaki menuju Desa Kinahrejo di lereng Gunung Merapi. Lalu lintas pagi itu masih sepi. Dari kota yang berjuluk Kota Pelajar ini, tim menempuh perjalanan selama 60 menit menuju Kinahrejo.

Sayup-sayup tetabuhan gamelan, alat musik khas Jawa, mengalun. Tarian Kuda Lumping menyambut rombongan. Di tempat ini, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise mengadakan penanaman 10.000 pohon; 7000 pohon penghijauan dan 3000 pohon produktif, secara simbolis untuk menghijaukan daerah pasca erupsi Gunung Merapi, November 2010.

Di Kinahrejo, tim juga mengunjungi kediaman sang juru kunci Gunung Merapi, almarhum Mbah Maridjan, sembari melakukan Lava Tour di Desa Cangkringan. New Terios terbukti handal di jalan berpasir yang diwarnai tanjakan terjal. Memang, beberapa kali New Terios sempat meradang melewati tanjakan terjal akibat lapisan pasir yang tebal. Namun akhirnya, tujuh New Terios ini berhasil menaklukkan medan “offroad” di kaki Gunung Merapi.


Kemah di Ranu Pane
Keesokkan pagi, Jumat, 4 Oktober 2013, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise meneruskan petualangan menuju kota Malang, Jawa Timur. Perjalanan di hari keempat ini, dihabiskan di perjalanan dari Yogyakarta ke Malang. Tak ada yang istimewa selama perjalanan yang menempuh rute 342 kilometer ini.

Malam hari, tim baru menyentuh kota Malang. Para anggota tim pun segera melempar badan ke pembaringan, melepas lelah setelah sepanjang hari dalam perjalanan.

Keesokkan pagi, tim melanjutkan petualangan ke kawasan kaki Gunung Semeru. Iring-iringan New Terios membelah jalan beraspal Tlogosari yang menyajikan pemandangan Puncak Mahameru dari kejauhan. Menjelang sore, konvoi New Terios baru lepas dari Malang.

Hari sudah petang. Tim pun akhirnya masuk pintu gerbang Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Suasana kian gulita. Hanya pepohonan besar yang bisa terlihat di kanan kiri jalan aspal yang hanya bisa dimuati satu mobil itu. Semakin dalam ke hutan, jalan kian rusak. Batu-batu berukuran sedang berhamburan saat terlindas ban mobil. Namun, kondisi itu bukanlah halangan bagi New Terios. Medan di kaki Gunung Merapi telah membuktikan ketangguhannya. Kini saatnya, New Terios unjuk gigi di lereng Semeru, gunung tertinggi Pulau Jawa ini.

Malam sedang tampil menawan. Taburan bintang di langit menyambut kedatangan tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise di Ranu Pane. Malam itu, tim bercengkerama hangat bersama masyarakat Suku Tengger. Mereka sedikit mencecap kehidupan orang-orang lereng Semeru ini. Tim memilih berkemah di tepi Danau Ranu Pane. Hawa dingin menusuk hingga tulang belulang. Meski dingin membekap, langit tampil sempurna. Tak ada awan yang bergelayut. Bintang-bintang menampilkan keelokannya.

Esok pagi, mentari muncul dengan malu-malu di ufuk timur. Semburat-semburat oranye menggaris di angkasa. Dari pinggir Danau Ranu Pane, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise menikmati “surga” yang tersembunyi di balik kegagahan Gunung Semeru.

Africa van Java
Setelah “menggigil” di Ranu Pane, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise menuju Taman Nasional Baluran di ujung timur Pulau Jawa, tepatnya di Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur. Nampak panorama sabana dihiasi tanaman-tanaman yang meranggas oleh musim kemarau.

Baluran merupakan nama gunung yang menaungi habitat taman nasional ini. Selain sabana yang membentang luas, di taman nasional ini juga terdapat hutan mangrove, hutan pantai, hutan pegunungan bawah, hutan musim, hutan rawa, serta hutan yang selalu hijau sepanjang tahun. Taman nasional ini kerap disebut sebagai “Africa van Java”.

Tim pun memilih malam hari untuk “mengintip” rusa-rusa liar yang masih berkeliaran bebas di alam. Beruntung, safari night dengan berjalan kaki ini berhasil “mengintip” beberapa rusa dan kijang, meskipun hanya dari kejauhan.

Setelah puas mencecap “surga” di ujung timur Pulau Jawa, petualangan dilanjutkan menuju Pulau Dewata. Jalan yang dipenuhi batu-batu kerikil akibat aspal mengelupas di akses keluar Taman Nasional Baluran, menjadi medan pembuktian ketangguhan New Terios. Dengan kecepatan 40 kilometer/jam, New Terios nyaman dan mulus melewati jalan berlubang serta melibas tikungan yang landai.

Iring-iringan New Terios pun menuju Pelabuhan Ketapang untuk menyeberang ke Bali dengan kapal ferry. Aroma Pulau Dewata segera menyengat tatkala sampai di Gilimanuk. Sajian ayam betutu, kuliner khas Bali, segera menyapa tim petualangan Terios 7 Wonders: Hidden Paradise. Bali hanya menjadi tempat persinggahan sejenak, sebelum tim melanjutkan perjalanan menuju Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.

Kampung Suku Sasak
Di Lombok, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise langsung menuju “surga” berikutnya di Kampung Sade, daerah Rambitan, Pujut, Lombok Tengah, yang dihuni Suku Sasak. Alunan musik tradisional khas Suku Sasak dan tarian Gendang Belek menyambut rombongan. Pertunjukan Peresehan, tradisi perkelahian dengan tongkat rotan panjang serta perisai yang terbuat dari kulit sapi, pun disuguhkan.

Di kampung Suku Sasak ini, terdapat kebiasaan unik. Penduduk kampung ini selalu membersihkan lantai rumahnya dengan kotoran kerbau. Cara ini, menurut mereka, dapat lebih menghangatkan rumah serta dijauhi nyamuk.

Setelah dari Sade, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise mengungkapkan belarasa dengan berbagi bersama siswa-siswi SMA AL Masyhudien NW Kawo, Lombok Tengah. Kegiatan ini menjadi salah satu pilar tanggung sosial perusahaan Daihatsu; Pintar Bersama Daihatsu.

Perjalanan berlanjut. Kali ini, petualangan tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise menguak keelokan pantai-pantai di Pulau Lombok. Dua pantai yang disambangi adalah Pink Beach, di daerah Tanjung Ringgit, Lombok Timur dan Pantai Selong Belanak di Lombok Tengah.

Untuk mencapai Pink Beach, diperlukan dua jam perjalanan dari Mataram. Dari jauh, sekilas pasir pantai ini berwarna merah muda atau pink. Tak heran, jika pantai ini dinamai Pink Beach. Lokasi pantai ini jauh dari keramaian. Pohon-pohon yang sedang meranggas menjadi keunikan panorama di pantai ini.


Usai menikmati Pink Beach, tim melanjutkan perjalanan menuju Pantai Selong Belanak. Lagi-lagi, New Terios harus menghadapi medan berbukit dan berkelok-kelok. Hari menjelang sore. Mentari pun sudah agak condong ke barat. Tim tak mau kehilangan moment sunset di Pantai Selong Belanak. Tujuh New Terios pun digeber, bagai sebuah petualangan mengejar matahari.

“Ah Lombok, so little time so many beautiful hidden paradises,” ujar seorang blogger perempuan yang ikut dalam petualangan Terios 7 Wonders: Hidden Paradise, Lucia Nancy dalam laman miliknya.

Mencecap Susu Kuda Liar
Selepas meluapkan kekaguman di Pulau Lombok, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise berpetualang ke Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Pagi-pagi, konvoi New Terios menuju Pelabuhan Kayangan untuk menyeberang dengan kapal ferry selama empat jam ke Sumbawa.

Sesampai di Sumbawa, tujuh New Terios segera dipacu menuju Dompu yang berjarak lebih kurang 585 kilometer. Jalanan yang mulus menjadi santapan ringan bagi New Terios.

Baru dini hari, rombongan sampai di penginapan yang terletak di Pantai Lakey, destinasi wisata yang kondang di Dompu. Pantai ini dikenal dengan ombak yang amat diminati para peselancar.

Keesokkan pagi, petualangan dilanjutkan ke daerah perbatasan Dompu dengan Bima, yakni Desa Palama, Donggo, Bima. Di tempat ini, tim menyaksikan pemerahan susu kuda liar. Disebut kuda liar, karena kuda-kuda ini memang digembalakan secara liar di alam terbuka. Mereka juga berkembangbiak di alam liar.

Sumbawa tak hanya menyimpan pesona alam yang elok. Sumbawa juga memiliki warisan kudapan susu kuda liar yang telah menjadi daya pikat daerah ini.

Pulau Keajaiban Dunia
Dari Sumbawa, tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise bertolak ke Labuan Bajo di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur. Pulau Komodo menjadi tujuan utama dan juga akhir dari petualangan ini.

Pagi itu, mentari belum menyembul di ufuk timur. Tim telah bersiap menuju Pulau Komodo. Kapal Phinisi Lafina dari Bone, Sulawesi Selatan siap menemani tim mengarungi lautan selama lima jam dan berlabuh di pulau tempat bersarang reptil raksasa itu.

Tujuh New Terios pun berhasil mencapai tempat yang telah ditetapkan sebagai salah satu Warisan Keajaiban Dunia ini. Seluruh tim Terios 7 Wonders: Hidden Paradise melakukan selebrasi dan bersyukur atas petualangan ini serta membuktikan ketangguhan New Terios sebagai Sahabat Petualang.

********

Potong Pantan, Menyambut Tamu ala Dayak Taman


SEORANG bocah laki-laki meliuk-liukkan tubuhnya menari di depan rombongan. Tangan kirinya memegang sebuah perisai. Tangan kanannya mengenggam mandau, senjata tajam seperti parang khas Dayak. Bocah itu menyabetkan mandau-nya ke kanan dan ke kiri, seolah menyingkirkan segala mara bahaya di jalan yang hendak dilalui para tamu. Sementara enam penari perempuan cilik berpakaian warna-warni mengiringi di belakang. Tarian yang diiringi tetabuhan khas Dayak ini mengantar para tamu menuju pintu gerbang utama Rumah Betang Ulu Palin di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Sesampainya di depan pintu gerbang utama, para tamu belum diperbolehkan naik ke rumah panggung setinggi tujuh meter ini. Para tamu dihadang dengan batang pohon yang diletakkan melintang di pintu gerbang yang dihiasi juntai-juntai kuning daun kelapa muda. Seorang pria Dayak maju ke depan. Ia menanyakan nama dan maksud kedatangan para tamu.

Sejurus kemudian, pria itu menyerahkan sebilah mandau kepada ketua rombongan. Ia meminta sang ketua rombongan memotong batang pohon itu. Sebelum mulai memotong, pria Dayak itu menyorongkan secangkir air maram atau beram yang terbuat beras ketan dan ragi. Minuman ini merupakan minuman khas masyarakat Dayak Taman sebagai lambang kekuatan dan kebesaran. Si ketua rombongan pun menenggak air maram itu.

Setelah itu, ia mulai bekerja keras memotong batang pohon berdiameter sepuluh centimeter itu. Tetabuhan terus bertalu-talu. Beberapa orang berteriak, “Haus... haus... haus...!” Dan si pemotong kayu pun berhenti sejenak, lalu ia kembali menenggak air maram.

Tatkala batang kayu benar-benar terpotong sempurna, semua orang yang hadir berteriak dan bertepuk tangan. Semua bergembira, lantaran satu ‘rintangan’ telah berhasil dilalui. Iringan tabuhan pun kian keras. Ini menjadi puncak tradisi Potong Pantan, upacara adat Dayak Taman untuk menyambut tamu. Upacara ini digelar untuk menghilangkan segala pengaruh buruk yang mungkin dibawa sang tamu.

Namun, pesta penyambutan belum usai. Tetabuhan masih bertalu-talu mengiringi langkah menuju anak tangga untuk naik ke Rumah Betang. Saat berada di anak tangga paling akhir, beberapa pemuda telah menanti. Aroma tuak, minuman tradisional Dayak, terasa menyengat lubang hidung. Kali ini para tamu wajib minum tuak menggunakan tanduk kerbau yang telah disulap menyerupai sebuah cangkir. Bagi tamu yang tak bisa minum tuak, cukup menghirup aromanya saja.


Satu ‘rintangan’ kembali dapat dilalui. Rasa lega menyelimuti saat berada di Rumah Betang sepanjang 286 meter ini. Namun rasa itu hanya singgah sementara saja. Sebuah upacara adat kembali harus dilalui. Kali ini giliran para perempuan. Mereka telah menanti sembari menari-nari mengikuti irama tetabuhan di sebuah pintu gerbang yang terbuat dari daun muda pohon kelapa. Di gerbang itu melintang selendang berwarna-warni. Sang tamu pun wajib berjalan di bawah kain selendang itu. Saat melalui selendang itu, sang tamu disuguhi segelas Air Papa’, minuman yang terbuat dari air tebu dicampur kulit kayu dan diolah hingga mengandung alkohol. Bagi masyarakat Dayak Taman, minuman ini merupakan lambang kebijaksanaan.

Setelah semua upacara dilalui, para tamu dan penghuni Rumah Betang duduk bersama beralaskan tikar. Mereka makan dan minum bersama, seperti dalam sebuah keluarga besar. Mereka berbincang dan saling menyapa membentuk pertalian kekerabatan yang penuh kehangatan.

2 Agu 2013

Keramik dari Tungku Naga

Keramik dari Singkawang, Kalimantan Barat memang sudah terkenal sejak dulu. Sentuhan budaya Cina amat terasa pada keramik asal tempat yang berjuluk Kota Seribu Klenteng ini. Tak jauh dari pusat kota Singkawang, terdapat tempat pembuatan keramik yang masih tradisional, seperti kala kerajinan dari keramik ini dibuat pertama kali.

Tempat pembuatan kerajinan keramik ini terkenal dengan mana Tungku Naga. Ya, memang terdapat sebuah tungku, tempat membakar keramik-keramik yang nampak memanjang dan mengeluarkan asap pekat. Tungku ini bak naga yang sedang berbaring mengeluarkan asap panas dan dari perutnya siap keluar karya-karya keramik yang ciamik, seperti mangkok, piring, gelas, dan guci.
 
Proses pembuatan keramik di sini masih tradisional. Semua masih menggunakan tenaga manusia. Mulai dari membuat pola, membentuk, menjemur, mewarnai, hingga membakar, masih dikerjakan dengan tangan manusia.

Harga karya keramik di tempat ini juga beragam. Mulai dari Rp 1.500 untuk mangkok atau piring berukuran kecil, hingga guci-guci yang harga mencapai puluhan jutaan rupiah. Tak hanya untuk konsumen dalam negeri, benda-benda berbahan keramik ini pun dikirim hingga mancanegara.
   

26 Jul 2013

Wisata “ngak ngik ngok” di Taman Suropati

Lamat-lamat suara “ngak ngik ngok” terdengar begitu menjejakkan kaki di Taman Suropati yang awalnya bernama Burgemeester Bisschopplein di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Meski beradu dengan deru mesin kendaraan bermotor yang melintas di Jalan Diponegoro, JalanTeuku Umar, dan Jalan Imam Bonjol, suara-suara itu makin dominan. Apalagi jika semakin melangkah masuk taman ini, suara kian jelas terdengar.

Ya, suara “ngak ngik ngok” itu berasal dari beberapa kelompok orang yang sedang belajar musik, terutama alat musik gesek, biola. Mereka dibagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan kemampuan. Ada yang masih belajar do re mi. Ada yang sudah agak mahir. Ada pula yang sudah sangat piawai memainkan alat musik. Suara-suara itu, meski tak beraturan, bagai membentuk sebuah orkestra di tengah keteduhan taman yang dibangun saat pemerintahan walikota (burgemeester) Batavia yang pertama G.J. Bisshop (1916-1920).

Mereka adalah komunitas musik Taman Suropati Chambers (TSC). Setiap hari Minggu mereka berkumpul dan bermain musik di Taman Suropati. Mereka berlatih mulai pukul 10.00 hingga 12:00 WIB, bahkan terkadang hingga hari gelap. Anggota TSC terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar musik. Mulai dari pedagang, pelajar, pegawai kantor, hingga pengusaha. Bahkan pengamen juga ada di komunitas ini. Saat ini anggota komunitas ini lebih dari 150 orang.

Awalnya berlatih musik di sini tak dikenakan biaya. Namun, karena anggota kian bertambah, maka tiap anggota dikenakan iuran sebesar 100 ribu rupiah setiap bulan. Dana itu sebagai ganti ongkos fotokopi teks lagu dan hal-hal lain yang berhubungan dengan acara komunitas.

Komunitas TSC awalnya digawangi Ages Dwiharso. Pada 2006, Ages mengikuti workshop keroncong di Den Haag, Belanda. Di Negeri Kincir Angin, ia menyaksikan beberapa musisi memainkan musik di taman kota. Ia pun ingin membuat hal yang sama di Indonesia. Bersama tiga rekannya, Ages pun membentuk Komunitas TSC tepat pada hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2007. TSC pernah menggelar konser di Balai Sidang Jakarta dan diundang tampil di Istana Negara dalam acara Parade Senja.