27 Agu 2008

Vanda Parengkuan; Menjaga Hati Anak-Anak

Konon, di negeri antah berantah, tersebutlah anak bernama Konya Konya Lonya. Ia anak miskin. Ia selalu ditolak teman-temannya. Padahal, ia ingin sekali bermain bersama anak-anak di desa itu. Namun, teman-temannya sangat sombong.

SUATU hari, penyihir Otero Tero datang mengacaukan permainan anak-anak desa itu. Penyihir itu menawari Konya Konya Lonya sebagai muridnya. Ia akan mengajari Konya Konya Lonya menjadi penyihir hebat. Namun, Otero Tero mengajukan syarat. Konya Konya Lonya tidak boleh lagi menggunakan hati. Hatinya harus dilepas. Konya Konya Lonya bersedia. Dengan kekuatan sihirnya, Otero Tero mengambil hati Konya Konya Lonya. Ia lalu menyimpannya di Gua Batu. Gua itu dikunci dengan tiga potong kunci berbentuk air, hati, dan daun. Ketiga kunci itu disimpan di tiga tempat yang berbeda.
Dua puluh tahun berlalu. Konya Konya Lonya telah menjadi penyihir jahat tanpa hati. Ia menyihir desanya menjadi kering kerontang. Sianya Wanya Senya, seorang anak perempuan yang mencintai lingkungan, bertekad mencari tiga potong kunci Gua Batu itu. Ia ingin mengembalikan hati Konya Konya Lonya. Kalau sudah punya hati, Konya Konya Lonya pasti bersedia menyihir kembali Bukit Baobab menjadi hijau lagi. Ditemani Bobo Sianya Wanya Senya berpetualangan mencari tiga potong kunci gua. Akhirnya Konya Konya Lonya mendapatkan hatinya kembali.
Ya, cerita di atas memang sebuah dongeng dari negeri antah berantah. Dongeng yang ditampilkan pada Operet Bobo akhir Juni lalu. Operet berjudul Konya Konya Lonya ini merupakan hasil coretan seorang perempuan bernama Vanda Parengkuan. Ia adalah redaktur Majalah Bobo.

Tukar hati
Rabu petang, 29/7, perempuan yang sering disapa Vanda ini, tampak berpenampilan sederhana. Ia membalut diri dengan busana batik bermotif bunga-bunga. Ia duduk di sudut kedai kopi bermerek internasional di tengah sebuah pasar modern di kawasan Jakarta Barat. Vanda pun membuka cerita. Namun, suaranya harus bersaing dengan hiruk pikuk pengunjung.
Dalam operet yang didukung beberapa wartis itu, perempuan kelahiran Sangir Talaud, Sulawesi Utara, 21 September 1967 ini, juga menyelipkan sebuah lagu berjudul ‘Jangan Tukar Hatimu'. Lindungi hatimuu... Jangan tukar hatimu, dengan harta dan benda, atau apapun juga... Demikian penggalan syair lagu itu. “Operet ini memang berbicara tentang hati nurani,” papar Vanda. Hati nurani, menurutnya, jangan pernah ditukarkan dengan apapun. Karena, kalau hati nurani ditukar, maka perbuatan jahat akan semakin mudah diperbuat. “Dan ketika melakukan kejahatan, rasa bersalah pun sudah tak ada lagi,” tambahnya.
Selain itu, banyak pesan yang dapat dipetik dari operet ini. Soal pertemanan, lingkungan hidup dan juga pesan bagi para orangtua. “Jangan membuat anak-anak kesepian sendiri. Karena di luar rumah, banyak penyihir seperti Otero Tero, yang dapat berpura-pura baik, namun menyimpan maksud yang jahat,” papar Vanda sembari sekali-sekali menyeruput kopi.
Operet ini muncul dari keprihatinan Vanda. Ia melihat, di berbagai media massa, tampilan kekerasan datang bertubi-tubi. Mutilasi, pembunuhan, penculikan, perampokan, dan lain-lain. “Tapi, saya yakin, para pelaku kejahatan itu, saat kecil pasti juga lucu-lucu dan polos. Namun, karena ada yang mengambil hatinya, maka mereka dapat berbuat jahat dan tega pada sesamanya,” katanya.
Permasalahan ekonomi, terutama kemiskinan, menurut istri Ferdinand Makahanap, SH ini, menjadi penyebab utama. “Ujung-ujungnya duit!” tegasnya. Pemerintah harus lebih peduli dengan mengalokasikan anggaran negara pada anak-anak. Dengan demikian, akan banyak anak-anak di Indonesia yang tertolong dan diselamatkan. Orangtua pun harus menaruhkan hatinya pada anak-anak. Karena, masalah ekonomi membuat manusia mudah menukarkan hati dengan uang atau apapun. “Mencuri atau tidak? Korupsi atau tidak? Kalau tidak, tidak bisa makan! Itu yang terjadi di masyarakat,” papar Vanda.

Mesin ketik
Mendongeng atau menulis naskah operet, bukanlah hal baru bagi ibu tiga anak ini. Saat Vanda kecil, Bapaknya rajin membelikan buku-buku cerita. Ia sangat gemar membaca. Berapa pun buku yang dibeli bapaknya hari itu, pasti habis dilahapnya hari itu juga. Suatu hari, matanya bengkak dan harus dikompres, lantaran terlalu banyak membaca.
Karena gemar membaca, ia tertarik menulis. “Ketika membaca satu cerita, kadang saya tidak setuju dengan akhir ceritanya. Ya, saya menulis ulang cerita itu, dengan akhir cerita yang saya ingini,” kenangnya sembari tertawa renyah. Itu adalah kenangannya saat masih kelas empat SD. Semakin remaja, Vanda makin rajin menulis. Melihat tingkah itu, bapaknya pun membelikan mesin ketik. Mulailah ia mengetik. Ia pun memberanikan diri mengirimkan naskah-naskah yang diketiknya dengan dua jari, ke media anak-anak. Tulisannya dimuat. Vanda pun gembira. Semangatnya menulis makin terpompa. Saat tingkat pertama kuliah, ia diminta mengajar Sekolah Minggu. Ketika Paskah atau Natal tiba, Vanda pun selalu diminta membuat operet kecil-kecilan untuk dipentaskan di gereja.

Mendongeng
Vanda lahir sebagai anak Pulau Sangir. Ia di sana hingga usia empat tahun. Pulau Sangir terletak di selatan Filipina. Jika menumpang pesawat terbang kecil dari Madano memakan waktu tempuh sekitar 45 menit. Namun, jika melalui jalur laut, baru sampai sekitar 12 jam kemudian.
Vanda masih menyimpan kenangan masa kecil di Sangir. Rumahnya berada dekat dengan pantai. Setiap hari ia bisa melihat pantai dengan pasir putih dan laut yang membiru. Jernih dan bersih. Di samping rumahnya, rak kayu berundak-undak membujur. Di atasnya, dihiasi tanaman bunga anggrek beragam jenis. Itu adalah kegemaran ibundanya. Nama Vanda diperoleh dari sang ibunda yang gemar anggrek. Vanda adalah sejenis anggrek. Tahun 1996, ia sempat melonggok tanha kelahirannya itu. Ingatan-ingatan masa lalu itu, seperti tak pernah terbang hilang. Ingatan-ingatan itu pun muncul dalam Operet Bobumba yang dipentaskan pada tahun lalu di Balai Sidang Jakarta.
Bagi Vanda, dongeng memiliki satu kekuatan yang besar. Dongeng adalah alat. Berbeda dengan nasihat langsung yang kadang justru ditolak anak-anak. Dongeng, menurut Vanda, alat untuk memberi nilai-nilai melalui alam bawah sadar anak-anak. Melalui tokoh, alur dan latar cerita, nilai-nilai itu ditaburkan dalam diri anak. Lewat dongeng, anak-anak akan lebih dapat memahami nilai-nilai tersebut. Tidak hanya itu. Dongeng juga dapat disisipi ilmu pengetahuan atau pemecahan masalah. “Dalam dongeng kan kadang ada masalah-masalah, apalagi jika ceritanya tentang kehidupan yang dekat dengan anak-anak. Dari situ orangtua dapat membantu anak untuk belajar mengatasi masalah,” papar Vanda.
Menurut Vanda, dongeng atau cerita untuk anak-anak yang baik, tidak memiliki kesan menggurui. Anak-anaklah yang akan mengambil kesimpulan sendiri atas cerita itu. Memang, kadang anak agak sulit menangkap makna dari cerita itu. “Tapi, biarlah anak menyimpannya dalam alam bawah sadarnya. Saya yakin, kelak anak akan mengerti makna dari cerita itu,” tambah ibu yang saban malam mendongengi ketiga anaknya ini.
Dan, malam makin gelap. Pembicaraan pun harus disudahi. Vanda mesti bergegas pulang. Ketiga anaknya pasti sudah menunggu di peraduan keluarga. Menanti kehangatan dongeng-dongeng pengantar tidur yang mengalir dari hati sang ibu.

Tidak ada komentar: