18 Sep 2008

Prof. DR. Maria Farida Indrati; Perempuan Penjaga Konstitusi

Suasana Jawa sangat kental terasa. Beragam ornamen ynag terbuat dari kayu menghias ruang tamu. Di satu sudut ruang, berdiri patung Bunda Maria.

SANG suami pun ramah menyambut. Tak lama berselang, seorang perempuan muncul dengan langkah pincang. Sejak usia tiga tahun, ia terkena polio. Perempuan itu bernama Maria Farida Indrati. Baru satu minggu, ia berkantor di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat. Dia adalah salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesi (RI) yang baru dilantik Presiden RI di Istana Negara, Sabtu, 16 Agustus 2008 lalu. Maria -sapaanya- merupakan satu-satunya perempuan di antara jajaran sembilan orang hakim yang ada di Mahkamah Konstitusi.

Padahal, saat kecil, Maria tak pernah bercita-cita bekerja di dunia hukum. “Saya ingin sekolah musik. Sejak kelas dua SD sampai memiliki anak, saya ikut koor di Gereja,” cerita Maria saat ditemui di rumahnya di bilangan Radio Dalam, Jakarta Selatan, Rabu, 3/9. Bahkan, perempuan kelahiran Solo, Jawa Tengah, 14 Juni 1949 ini, pernah ditawari sekolah musik oleh Pastor Johan A. Mulder SJ, Pastor Paroki Purbayan Solo saat itu.

Koor dan hukum, memang dua dunia yang jauh berbeda. Tapi, dua hal itu menjadi bagian penting dalam hidup Maria. Ia juga tak pernah membayangkan akan kuliah dan mengajar di Universita Indonesia Jakarta. “Itu kan tempat orang demo,” kenangnya. Namun, ‘tempat demo’ inilah yang membesarkan Maria hingga sekarang.

Memahami kata

Istri C. Soeprapto Haes ini memang fasih bicara soal hukum, terutama hukum perundang-undangan. Sudah sekitar 26 tahun, ia menekuni bidang ini. Semua itu, bermula ketika ia ditawari Prof. Hamid S. Atamimi, menjadi asistennya. Figur Prof. Hamid membuat Maria tertarik pada dunia perundang-undangan. “Beliau selalu membimbing dan memberikan banyak buku,” kenangnya bahagia. Prof. Hamid selalu mendorong Maria agar terus membaca. Ketika, Prof. Hamid meninggal dunia, Maria menjadi penggantinya. Ia seperti mendapat warisan agar meneruskan cita-cita Prof, Hamid, yakni menjadi guru besar dalam bidang hukum perundang-undangan.

Lewat bacaan-bacaan tersebut, umat Paroki St Yohanes Penginjil Blok B Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini, makin memahami dan dapat mengkritisi berbagai masalah perundang-undangan di negeri ini. “Setiap kali saya membaca koran, saya bisa dengan spontan mengatakan, ini benarnya di sini, ini salahnya di sini,” ujarnya lirih.

Ia pun selalu cermat saat membaca sebuah teks perundang-undangan. Memahami kalimat per kalimat, bahkan kata per kata. Baginya, satu kata dapat menimbulkan masalah. “Kata-kata dalam undang-undang itu menjadi sangat penting, karena menyangkut hidup orang banyak,” papar anak pertama dari delapan bersaudara ini.

Lahan kering
Dalam ranah hukum perundang-undangan, Maria sering merasa sendiri sebagai seorang perempuan. Kesendirian ini, ia rasakan ketika menghadiri pertemuan, seminar atau diskusi yang berkaitan dengan bidang hukum. Bidang yang ia tekuni memang jarang diminati. “Sangat jarang yang mau menekuni bidang ini. Tidak hanya perempuan, laki-laki pun begitu. Karena ini lahan kering. Berbeda dengan hukum perdata dan pidana yang dibanjiri peminat,” jelas ibu dari tiga orang anak ini.

Namun, bidang yang ia tekuni ini, justru membawa Maria bertemu dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Mulai dari orang-orang di departemen negara hingga lembaga swadaya masyarakat (LSM). Karena, ia kerap diminta mengkritisi berbagai produk perundangan-undangan. Keahliannya ini juga membuat Maria terpilih menjadi Ketua Komisi Perundang-Undangan Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara sejak tahun 2000. “Kalau saya dibutuhkan, saya akan menyediakan diri, asal sesuai dengan bidang saya. Serviam (melayani), itu semangat saya,” tegasnya mantap.

Sejak Mahkamah Konstitusi disahkan 13 Agustus 2003, kehadiran hakim konstitusi dari kalangan perempuan sangat diharapkan. Ketika pencalon hakim konstitusi tahun 2003, Maria telah diminta delapan elemen masyarakat agar mengajukan diri. “Saat itu, saya tidak mau. Saya masih senang mengajar,” kisahnya. Namun, lima tahun kemudian, ia mau masuk dalam bursa calon hakim di Mahkamah Konstitusi.

living constitution
Pada Juni 2008, beredar kabar bahwa Maria menjadi salah satu calon hakim yang akan dipilih presiden. Maria pun bingung. Tapi, satu bulan kemudian, ia dihubungi dan diminta menjadi calon hakim di Mahkamah Konstitusi. Saat itulah, ia baru percaya bahwa kabar yang beredar itu benar. Ia mau mencalonkan diri, lantaran ia diijinkan untuk tetap mengajar. “Kalau tidak boleh, saya pasti tidak mau!” tegasnya. Sehari sebelum menyerahkan daftar riwayat hidup, bersama sang suami, Maria pergi ke makam Bapaknya di Tanah Kusir.

Semua tahapan seleksi ia lalui. Hingga pada Sabtu, 16 Agustus 2008, Maria secara resmi dilantik menjadi salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi. Menurut Maria, ini bukan akhir dari segalanya, melainkan awal untuk melangkah lebih baik. Ia merasa bahwa tugas ini merupakan sebuah jalan agar bekerja, mengabdi, dan membantu negara tercinta ini.

Sebagai perempuan, ia tak mau hanya untuk memenuhi keterwakilan perempuan semata. “Mewakili, namun tak dapat berbuat apa-apa, itu tak ada gunanya. Selain itu, sering sekali perempuan itu dianggap lemah lembut. Kalau di Mahkamah Konstitusi tidak bisa lemah lembut atau lembek. Keputusan Mahkamah Konstitusi tidak boleh lemah lembut. Harus tegas dan cermat. Kalau tidak tegas, nanti tidak ada kepastian hukum,” ucapnya bersemangat. Ia juga berharap, tetap dapat menjaga independensi. Walaupun ia adalah hakim di Mahkamah Konstitusi, ia masih dapat memiliki pendapat pribadi yang mungkin berbeda dengan pendapat lembaganya.

Salah satu cita-cita Maria adalah agar Indonesia memiliki sebuah living constitution, yakni sebuah konstitusi yang dapat mengikuti perkembangan jaman dan memiliki cara pandang ke depan. “Sehingga, tidak perlu setiap saat berubah. Konstitusi seharusnya dapat memenuhi keinginan masyarakat dalam jangka waktu yang panjang. Dan, untuk membuat konstitusi yang seperti ini, dibutuhkan para pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan. Bukan pemimpin yang hanya memiliki kepentingan sesaat saja,” imbuhnya.

Tidak ada komentar: