27 Agu 2008

Agustinus Wibowo; Menyusuri Negeri Tak Dikenal

”Hidup adalah perjalanan. Kita tidak tahu kapan perjalanan hidup kita akan selesai. Begitu pula, saya tidak tahu kapan petualangan saya ini akan berakhir,” tulis Agustinus Wibowo lewat surat elektronik.

SUDAH tiga tahun, Agus –sapaannya- melakukan perjalanan tanpa jeda. Ia melintasi Asia Selatan dan Tengah melalui jalur darat. Agus memang sedang melakukan misi pribadi berkeliling Asia. Perjalanan dimulai dari Stasiun Kereta Api Beijing, China pada 31 Juli 2005. Ia menuju Tibet, menyeberang ke Nepal, turun ke India, dan menembus Pakistan, Afghanistan, Iran, berputar lagi ke Asia Tengah, diawali Tajikistan, kemudian Kyrgyzstan, Kazakhstan, hingga Uzbekistan dan Turkmenistan. Ia menempuh perjalanan itu dengan berbagai ragam alat transportasi, seperti kereta api, bus, truk, kuda, keledai, bahkan berjalan kaki. Agus memang menghindari perjalanan dengan pesawat. ”Perjalanan udara menghalangi saya menyerap saripati tempat yang saya lalui,” ujarnya dalam perbincangan lewat internet beberapa waktu lalu. Ia ingin menyatu dengan budaya, menjalin persahabatan, mencecap kehidupan masyarakat yang dikunjunginya.
Agus memulai perjalanan berbekal 2.000 dolar AS, hasil tabungan saat kuliah di Universitas Tshinghua Beijing, China. Ketika bekal habis, ia menetap sementara di suatu tempat. Ia bekerja apa saja untuk mendapat bekal dan bertahan hidup. Bekal terkumpul, Agus pun melanjutkan petualangan. ”Untung saya hobi fotografi dan menulis. Saya menulis dan menjual foto-foto saya ke beberapa media di China, Singapura dan Indonesia,” tuturnya.

Menjadi turis
Agus lahir di Lumajang, Jawa Timur, tahun 1981 sebagai sulung dari pasangan Chandra Wibowo dan Widyawati. Usai belajar di SMU 2 Lumajang, Agus meneruskan kuliah di Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya (ITS). Ia hanya melalui satu semester di ITS. Ia memutuskan pindah kuliah ke Fakultas Komputer Universitas Tshinghua Beijing, China.
Sejak kecil ia memang hobi jalan-jalan. Ia sudah menyimpan harapan untuk berkelana ke negeri-negeri jauh. Sewaktu masih SD, gurunya pernah bertanya tentang cita-cita Agus. Dengan polos, ia menjawab ingin jadi turis. Gurunya berkata, kalau turis itu bukan pekerjaan, bukan cita-cita. Tapi, Agus terus menyimpan mimpi masa kecilnya itu.
Pertama kali, ia pergi ke Mongolia tahun 2002. Ia sangat mengagumi kebesaran alam, gurun pasir, padang rumput, dan danau ciptaan-Nya. Tahun 2003, Agus melawat ke Afghanistan, yang baru saja bangkit dari perang. Pikirannya berkecamuk. “Betapa banyak manusia di muka bumi ini yang luput dari perhatian kita,” pikirnya. Dan, saat tahun 2005, ia mengunjungi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), selepas tsunami. “Saya menyadari betapa mulia tugas wartawan yang mengabarkan kisah-kisah di daerah yang sebagian besar orang tak dapat melihat langsung. Saat itulah saya memutuskan untuk menjadi wartawan dan fotografer,” ceritanya. Cita-cita itu pun terwujud, setelah ia lulus kuliah pertengahan 2005.
Ia telah mewujudkan mimpi menjadi turis. Perubahan itu dimulai tahun 2002. Ketika seorang temannya menantang Agus berpetualang ke Mongolia. Agus juga sangat terinspirasi oleh perempuan asal Jepang, yang pernah keliling Asia Tenggara selama enam bulan. Ia sangat kagum, ketika perempuan Jepang itu bercerita tentang perjalanannya.

Dipukuli
Sejak saat itu, tak ada yang dapat menghentikan langkah kaki Agus. ”Makin sering saya berpetualang, semakin dalam keingintahuan saya tentang hal-hal baru di dunia ini. Dunia ini tidak seluas daun kelor. Ada banyak kehidupan dengan berbagai kebajikan lain di luar sana,” jelas pria muda telah menguasai bahasa Hindi, Urdu, Farsi, Rusia, Tajik, Kirghiz, Uzbek, Turki, Arab, Armenia, dan Georgia. Agus memang suka belajar bahasa asing. Biasanya, ia membeli buku pelajaran bahasa asing sebelum masuk ke negara yang dituju. Menguasai bahasa asing sangat membantu perjalanannya. Misal, ketika ia berjumpa Maois, para pengikut pemikiran Mao Zedong yang berhaluan komunis di Nepal. Karena ia dapat berbahasa Hindi, maka ia tidak dimintai uang. “Malah dianggap teman yang mendukung perjuangan mereka,” ceritanya.
Namun, kemampuan menguasai beragam bahasa, pernah membuat Agus hampir celaka. Ketika di Afghanistan, polisi setempat mencurigai Agus sebagai seorang teroris dari Pakistan. Tanpa sebab musabab, sepasukan polisi memukulinya dengan geram. Agus marah. Ia berteriak dan memaki. Tapi, yang keluar dari mulutnya adalah bahasa Urdu, bahasa nasional Pakistan. ”Harusnya saya berbahasa Inggris, tapi waktu itu spontan yang keluar bahasa Urdu,” ujarnya.
Tak hanya sekali, Agus mengalami kejadian naas. Seorang pengembara mau tidak mau harus berteman dengan marabahaya. Berulangkali ditangkap polisi, ditahan agen rahasia, dipukul preman, dirampok, dan berakrab dengan perut lapar. Agus pun pernah putus asa, lantaran kameranya rusak dan uang bekal dicuri orang. Pernah juga, ia menginap di rumah pelaku kriminal. Ia pun pernah menyelundup melintasi perbatasan Uzbekistan dan Kyrgyzstan. Dua negara di Asia Tengah. Batas antar negara sengaja dibuat kacau. Sehingga ketika dua negara ini merdeka, mereka tak dapat lepas dari konflik dan sengketa. “Di perbatasan, ada rumah yang dapur di Kyrgyzstan, sementara kamar tidur di Uzbekistan,” ujarnya.

Seni mengembara
Melihat sepak terjang Agus ini, orangtuanya tentu sering khawatir. Masih jelas dalam ingatannya, ketika ia hendak ke Mongolia tahun 2002. Setelah tiga minggu di Mongolia, Agus menelepon ke rumah dan ibunya menjerit saat dengar suaranya. Begitu pula saat ia pergi secara diam-diam ke Afghanistan. Sekembali dari Afghanistan, ia dimarahi habis-habisan oleh ibunya. Namun, kini semua sudah berubah. ”Ayah saya pernah berkata, kamu sudah besar, sudah bisa menimbang sendiri baik buruknya. Kami hanya mengarahkan, tapi kamu sendiri yang memutuskan,” tiru Agus. Orangtuanya pun telah percaya akan pilihan Agus dan mendukungnya.
Bagi Agus, petualangannya bukan bukan sekadar menikmati kemolekan pantai, kesegaran pegunungan atau kemewahan hotel berbintang. Bagian terbaik dari perjalanan, menurutnya, adalah ketika ia menemukan apa yang disebutnya sebagai ’seni mengembara’. ”Ketika kita tidak lagi menjadi diri sendiri, ketika kita kehilangan identitas kita, masa lalu kita, ikatan norma masyarakat yang selama ini mengikat kita, dan pada akhirnya lepas dari jerat yang selama ini memasung kita. Kita menjadi terbuka pada kehidupan dan menerima apa yang diajarkan kehidupan pada kita. Ketika sampai pada titik ini, kita akan melihat dunia dengan mata hati yang baru,” tuturnya. ”Bahkan di lekukan gunung Afghanistan dan padang pasir Pakistan, ada kebijaksanaan maha tinggi dari orang-orang pedalaman yang terlupakan dunia,” tambah Agus.
Agus masih di jalan, entah sampai kapan. Ia menyimpan cita-cita. Ia ingin melihat negeri yang ‘ada namun tiada’ di Afrika, melintasi Kaukasus, Eropa Timur hingga Timur Tengah. Di bagian bumi ini, ada negeri-negeri yang hampir tak pernah terdengar. Abkhazia, Transdniestr, Ossetia, Nagorno Karabakh.
Hidup memang perjalanan. Tujuan bukan yang utama. “Tapi, lika-liku menjalaninya yang paling penting. Perjuangan menuju kebahagiaan tak mudah. Harus melewati berbagai tahap, kesenangan duniawi, kesusahan, kesadaran, pelepasan, pencerahan, hingga akhirnya menyadari bahwa segala sesuatu itu begitu sederhana,” pungkasnya.

Tidak ada komentar: