11 Des 2008

Prof. Anita Lie: Menapaki Jalur Spiritualitas Guru

Suatu ketika, seorang muda meminta saran mengenai bidang studi atau karir yang paling baik untuk ditekuni. Lantas, seorang guru perempuan mendorong orang muda itu untuk mengingat dan menggali impian masa kecilnya.

GURU perempuan itu adalah Anita Lie. Seorang pakar pendidikan dari Kota Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur yang pada 16 Februari 2008, dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang Kurikulum Pendidikan di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. Pencapaian gelar terdidik dalam dunia akademik ini, tak lepas dari masa kecilnya. “Pencapaian ini adalah satu titik di tengah perjalanan saya menggapai impian masa kecil,” perempuan kelahiran Surabaya, 1 Juni 1964 ini berujar.

Anita --panggilannya-- semasa kanak-kanak paling gemar bermain sekolah-sekolahan. Anita kecil kerap didapuk peran sebagai guru. Tak disangka, mimpinya terajut nyata. Anita menapaki perjalanan karir, profesi dan panggilan sebagai seorang guru. Sebuah pilihan yang tak biasa dalam keluarga besarnya. Ia satu-satunya yang membuat pilihan itu.

Tempat sakral
Menjadi guru, kata Anita, adalah suatu penjelajahan dan perjalanan emosional, intelektual, dan spiritual. Guru mengandung makna yang luas. Dalam bahasa Sansekerta, guru, lebih dari seorang pengajar. Guru adalah juga seorang ahli, konselor, sahabat, pendamping dan pemimpin spiritual. Sebagai kata benda, guru berarti tempat sakral ilmu pengetahuan. Sebagai kata sifat, guru berarti berbobot karena ilmu pengetahuan dan kearifan spiritual. Guru menggambarkan suatu metafora peralihan dari kegelapan menuju terang. Suku kata ‘gu’ berarti kegelapan dan ‘ru’ berarti terang. “Jadi, guru bermakna membebaskan dari kegelapan, karena ketaktahuan dan ketaksadaran,” papar umat Paroki Gembala Yang Baik Surabaya saat ditemui di Jakarta beberapa waktu lalu.

Menyitir novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, Anita mengatakan, guru yang pertama kali membuka mata kita akan huruf dan angka-angka, sehingga kita pandai membaca dan menghitung, tak akan putus-putus pahalanya hingga akhir hayatnya. Dan, tak hanya itu yang dilakukan seorang guru. Ia juga membuka hati kita yang gelap gulita.
Belenggu pendidikan

Satu permasalahan mendasar sistem pendidikan nasional, menurut ibu satu anak ini, adalah dehumanisasi pendidikan. Pendidikan seharusnya menghormati dan menghargai martabat manusia dengan segala hak asasinya. Peserta didik harus tumbuh dalam kemanusiaannya sebagai subjek melalui proses pendidikan. “Tapi, yang sedang terjadi justru sebaliknya. Ada terlalu banyak contoh yang menunjukkan, betapa peserta didik sudah diperlakukan sebagai objek demi kepentingan ideologi, politik, industri, dan bisnis,” paparnya kritis.

Ironisnya, guru tak mampu mengembangkan kesadaran dan menghentikan gejala dehumanisasi ini dan membebaskan peserta didik dari kegelapan. Karena, para guru sendiri juga terjebak sebagai objek dalam sistem pendidikan nasional. Anita pun membeberkan persoalan yang membelenggu guru. Pertama, dengan gaji dan tunjangan yang tak memadai, guru menjadi sibuk mencari penghasilan tambahan, sehingga mengabaikan tugas dan tanggung jawab sebagai pendidik. Kedua, dengan jam mengajar yang panjang dan tugas administratif yang membebani, guru tak punya waktu mengembangkan diri. Ketiga, sebagai objek dalam sistem pendidikan nasional, membuat sebagian guru tak mampu mengelola emosi negatif, sehingga harus mengumpat di kelas atau memperlakukan peserta didik dengan kasar. Keempat, sebagian guru melakukan pelanggaran etika sebagai pendidik dengan memberikan les privat bagi peserta didik. Bahkan, membocorkan soal ulangan, menjual buku-buku ajar dengan berharap mendapat komisi, ikut terlibat dalam tindak manipulasi dan korupsi oleh birokrasi pendidikan atau pengelola sekolah. Kelima, belenggu kemiskinan finansial, intelektual, emosional, dan kultural, membuat guru kehilangan identitas dan integritas. “Semua itu membuat pekerjaan sebagai guru tak lagi dilandasi spiritualitas profesi dan tak menjadi bagian dari perjalanan kemanusiaan,” tegas Anita.

Budaya ketakutan
Selain itu, menurut Anita, dunia pendidikan juga telah dibelenggu dan beroperasi dalam budaya ketakutan. Ketakutan terhadap sistem dengan segala perangkatnya. Takut pada kekuasaan lembaga yang menggelar evaluasi dengan Ujian Nasional. Takut pada program sertifikasi guru. Takut pada kepala sekolah. “Ketakutan ini telah menghambat guru menjadi dirinya sendiri secara utuh,” tegasnya. Lebih jauh lagi, keterbelengguan sistem dan ketakutan pada kemiskinan, juga membatasi guru untuk menggali, menjelajahi, dan menemukan nilai-nilai kebenaran dalam ilmu pengetahuan.

Ketakutan ini juga berimbas pada peserta didik. Peserta didik takut pada ulangan dan ujian, takut pada hukuman, takut menjadi bahan cemooh teman-teman sekelas, dan takut tidak naik kelas. Ketakutan-ketakutan ini telah memisahkan guru dari peserta didik.

Sebagai seorang guru, ada beragam cara yang dipakai Anita untuk mengurai ketakutan itu. Ia mencoba mengembangkan metodologi dan teknik mengajar. Ia mencoba dan bermain-main dengan cooperative learning, multiple intelligences, learning styles, dan sebagainya. Ia berharap, dengan beragam metode itu, dapat menjadi senjata dan tameng, agar tampak terampil dan kompeten di depan kelas dan sesama rekan guru. Perangkat-perangkat itu pun, ia bagikan pada sesama guru di acara-acara pelatihan. “Namun, setelah makin lama masuk dalam perjalanan sebagai guru, saya melihat, bahwa betapa pun pentingnya metode dan teknik mengajar, perangkat adalah tetap perangkat. Guru harus menggunakan perangkat bukan untuk menutupi ketakutan, tapi sebagai jembatan untuk menyapa dan membuka hati setiap peserta didik,” ujarnya.

Bagi Anita, pengalaman menguraikan ketakutan adalah bagian dari perjalanan spiritual seorang guru. Banyak tradisi spiritual berupaya mengatasi dampak ketakutan, termasuk agama. Seruan ‘Jangan takut!’, ada dalam berbagai agama. “Ajaran berbagai agama mengajak untuk mengatasi ketakutan dengan satu harapan. Lepas dari kehancuran dan mendapatkan berkat ketika perjumpaan dengan manusia lain tak mengancam, tapi memperkaya pekerjaan dan kehidupan,” imbuhnya.

Guru sejati
Meniru ungkapan Driyarkara, Anita mengatakan, guru bukan buruh. Menjadi guru sejati merupakan panggilan hati. Bagi seorang guru sejati, tugas utamanya adalah membantu anak didik berkembang menjadi manusia yang lebih utuh. Dia dipanggil untuk melakukan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Betapa pun pergumulan memperjuangkan tingkat kesejahteraan yang layak bagi guru, yang membedakan guru sejati dengan yang tidak, adalah cara memaknai profesi keguruannya. Yang satu menjalani sebagai panggilan hidup, sedangkan yang lain melakukan pekerjaan untuk mencari nafkah. “Seorang guru sejati, adalah yang membebaskan peserta didik dari kegelapan dan mengarahkan peserta didik menemukan guru sejati yang berada dalam dirinya sendiri,” pungkas Anita.