24 Okt 2015

Melacak Tenun Dayak

Penenun kain khas Dayak di Sentra Kerajinan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Photo: y.prayogo
DUA perempuan duduk melantai. Kakinya selonjoran di lantai kayu itu. Sekali-sekali kedua tangannya dihentak-hentakkan ke arah pinggang. Utas-utas benang warna-warni perlahan membentuk kain. Ya, dua perempuan itu sedang menenun kain ikat dengan motif khas suku Dayak.

Siang baru saja beranjak dari pagi. Matahari semakin terik. Sentra Kerajinan Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang berbentuk Rumah Betang atau rumah panjang, nampak sepi. Rumah Betang ini terletak di bagian utara Putussibau, ibukota Kapuas Hulu. Perlu 24 jam untuk mencapai tempat ini dengan perjalanan darat dari Pontianak, ibukota Kalimantan Barat. 

Di Rumah Betang ini terlihat beberapa perempuan yang sedang tekun menenun. Mereka merajut benang-benang aneka warna menjadi selembar kain. Beberapa pria sedang memahat kayu membentuk patung. Showroom kerajinan yang menempati satu ruangan, juga terlihat sepi. Kain tenun khas Dayak mendominasi showroom ini.

Penenun kain khas Dayak di Sentra Kerajinan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.
Photo: y.prayogo
Pembuatan kain tenun khas Dayak masih mempertahankan warisan leluhur. Mulai dari pemintalan benang, pewarnaan, sampai proses menenun, masih menggunakan cara-cara tradisional. Terdapat empat macam warna utama dalam kain ikat khas Dayak, yaitu merah, hitam, kuning, dan putih. Pewarna benang memanfaatkan alam sekitar. Warna merah didapat dari daun mengkudu atau kulit kayu salam. Warna hitam diperoleh dari daun renggat. Sementara warna kuning berasal dari kunyit dan temulawak.

Seperti kain tenun di daerah lain, perlu waktu yang panjang untuk menenun satu lembar kain. Satu bulan, waktu yang cukup untuk menghasilkan satu lembar kain tenun khas Dayak.

Mari melanjutkan perjalanan semakin dalam, melacak para penenun kain khas Dayak!

Kain tenun Dayak.
photo: y.prayogo
Kali ini perjalanan diarahkan menuju Rumah Betang Bali Gundi. Siang itu, di rumah panjang ini juga ditemui beberapa perempuan sedang menenun. Pada masa lalu, menenun adalah syarat bagi perempuan Dayak yang telah mencapai akil balik. Menenun menjadi penanda kedewasaan seorang perempuan. Nilai-nilai di balik kain tenun Dayak itu kian lama kian pudar. Kini, tidak semua kaum hawa di tempat ini piawai menenun. Di Betang Bali Gundi, rata-rata penenun telah berusia lanjut.

Situasi serupa terlihat ketika menginjakkan kaki di Rumah Betang Sungai Uluk Palin. Perempuan-perempuan tua nampak selonjoran menenun utas-utas benang. Sayang, beberapa waktu lalu, rumah panggung setinggi delapan meter dengan panjang 500 meter telah terbakar habis. Tentu, kekayaan kain tenun di tempat ini turut musnah dilahap si jago merah.

Kain-kain tenun Dayak di Rumah Betang Sungai Utik.
photo: y.prayogo
Perjalanan dilanjutkan ke Rumah Betang Sungai Utik. Ketika memasuki rumah panjang ini lembaran-lembaran kain tenun motif khas Dayak tersampir di sudut-sudut Rumah Betang. Kain-kain ini langsung menyergap mata. Tapi situasi serupa pun terlihat. Di sini, para penenun telah berusia lanjut. Perempuan-perempuan muda tak lagi pandai menenun.

Penari mengenakan kain tenun khas Dayak.
Photo: y.prayogo
Utas-utas benang aneka warna akan terus ditenun di rumah-rumah betang. Kain-kain ini tidak lagi menjadi penanda kedewasaan seorang perempuan. Ia akan menjadi penanda peradaban para penenunnya. Meski para penenun kian menua, tapi warisan kain tenun khas Dayak akan terus hidup. Kain tenun Dayak akan tetap hidup panjang, sepanjang rumah-rumah betang, tempat tinggal mereka.

20 Okt 2015

Batik di Tepian Serayu

Pembatik Tulis Banyumasan
photo: y.prayogo
Aliran Sungai Serayu mendayu pelan-pelan. Angin semilir menyejukkan hari yang panas, mengiringi lalu lalang orang yang beraktivitas di tepian Serayu, di Banyumas, Jawa Tengah.

Aliran Sungai Serayu dan semilir angin pun mengiringi aktivitas di sebuah rumah, tepatnya di Jalan Mruyung, Banyumas. Di halaman rumah yang berbatu itu terhampar kain-kain batik yang sedang dijemur. Saat memasuki rumah itu, sebuah showroom batik menyapa pengunjung. Deretan batik dengan motif Banyumasan menyergap pandangan mata. Para pelayan pun segera menghampiri menjajakan dagangan batiknya.

Masih dalam satu atap, aktivitas lain sedang berlangsung. Beberapa perempuan sedang memberikan motif pada kain-kain putih. Sementara yang lain, beberapa sudah nampak tua, melukis kain-kain dengan pena batiknya. Para pelukis batik, yang didominasi kaum hawa ini memang rata-rata sudah berusia lanjut. “Angel banget ngajari bocah enom kon mbatik (Susah sekali mengajari orang muda membatik),” ujar Sarminah dengan logat Banyumasan yang amat kental. 
Pewarnaan Batik Banyumasan.
photo: y.prayogo 
Sementara di sisi yang lain, beberapa kaum adam sedang mencap kain-kain putih dengan motif batik Banyumasan. Mereka mencelupkan plat-plat bermotif batik ke dalam malam yang masih panas, lalu menempelkan ke lembaran kain putih. Motif-motif batik pun tercetak jelas. Sekali-sekali, sembari berkarya, mereka melontarkan canda tawa khas Banyumasan.

Siki sih mandan lumayan sing tuku batik. Gembiyen lah babar pisan ora ana sing gelem nggo batik (Sekarang sih sudah lumayan yang membeli batik. Dulu, jarang ada orang yang mau memakai batik),” ucap Mukidin yang telah berusia 63 tahun.

Para pria sedang mengerjakan batik cap motif Banyumasan.
photo: y.prayogo
Ya, Banyumas juga menyimpan kekayaan batik. Batik Banyumas memang tak semoncer Batik Pekalongan atau Batik Solo. Padahal, pada medio 1970-an Batik Banyumas sempat populer. Namun lambat laun, keberadaan Batik Banyumas semakin tergeser. Meski trend batik sedang naik daun, tapi Batik Banyumas masih sulit menembus kecenderungan itu. Ia kalah pamor dengan batik Pekalongan,Solo, dan Yogyakarta.

Batik Banyumas di buat dengan tangan (tulis), cap, serta ada juga yang di sablon. Batik Banyumas memiliki ciri yang membedakan batik dari daerah lain. Warna asli Batik Banyumasan adalah cokelat dan hitam dengan plataran warna kuning tua. 

Pembatik Tulis Banyumasan.
photo:y.prayogo
Pada umumnya, Batik Banyumas dibedakan dari cara pembuatannya, yaitu batik cap dan batik tulis. Batik cap bisa diselesaikan dalam waktu tiga hari, sementara batik tulis bisa memakan waktu tiga sampai enam bulan. Ini akan berpengaruh kepada harga jual. Batik cap berkisar puluhan ribu sampai ratusan ribu rupiah, sedangkan batik tulis dari ratusan ribu sampai jutaan rupiah.

Batik Banyumas identik dengan motif Jonasan, yaitu kelompok motif non geometrik yang didominasi dengan warna-warna dasar kecoklatan dan hitam. Motif-motif yang berkembang saat ini, antara lain Sekarsurya, Sidoluhung, Lumbon (Lumbu), Jahe Puger, Cempaka Mulya, Kawung Jenggot, Madu Bronto, Satria Busana, dan Pring Sedapur. 

Membatik cap motif Banyumasan.
photo: y.prayogo
Batik Banyumas memiliki sejarah yang tak lepas dari pengaruh budaya, seperti Yogyakarta dan Surakarta, maupun Pekalongan. Asal mula Batik Banyumas memang belum dapat dilacak. Namun dari informasi para sesepuh dan penggiat Batik Banyumas, disebutkan Batik Banyumas muncul, lantaran pengaruh berdirinya kademangan-kademangan di daerah Banyumas dan para pengikut Pangeran Diponegoro yang mengungsi ke daerah Banyumas. 

Lokasi sentra industri batik Banyumas terbanyak di Kecamatan Banyumas (Desa Pekunden, Pasinggangan, Sudagaran, Papringan) dan Kecamatan Sokaraja (Desa Sokaraja Lor, Sokaraja Kidul, Sokaraja Tengah, Sokaraja Kulon, Karang Duren).

Meskipun masih kalah pamor dengan ragam batik dari daerah lain, Batik Banyumas akan tetap hidup beriringan dengan aliran Sungai Serayu. Sungai yang dalam sejarah selalu memberikan penghidupan bagi masyarakat di sekitarnya. Pun Batik Banyumas yang akan terus memberi penghidupan bagi para pengrajinannya.
Para Pembatik Banyumasan.
photo:y.prayogo

14 Okt 2015

Guru Anak-Anak Kampung Laut

BARISAN hutan bakau terus mengiringi perjalanan dari Pelabuhan Sleko Cilacap, Jawa Tengah menuju Kampung Laut. Sebuah perkampungan di antara gugusan Pulau Nusakambangan, Perairan Segara Anakan Cilacap. Dengan perahu bermesin motor tempel bermuatan sekitar 20 orang atau yang sering disebut compreng, memerlukan waktu sekitar dua jam untuk mencapai perkampungan pertama.

Adalah Yustina Wartati, yang sudah lebih 30 tahun tinggal di Desa Ujung Alang, desa pertama yang disinggahi compreng dari Cilacap. Selama itu pula, ia merintis sekolah dan mengabdikan diri sebagai guru honorer di sana. Untuk mencapai rumahnya di Dusun Lempong Pucung, masih harus menyeberang menggunakan sampan dari pelabuhan kecil di Ujung Alang, lalu disambung jalan kaki sejauh setengah kilometer.

Yustina Wartati
photo: y.prayogo
Buka sekolah
Di daerah yang terkenal sebagai endemik malaria inilah Tatik merintis sekolah. “Dulu, di sini tidak ada sekolah sama sekali, anak-anak harus berjalan kaki sejauh tiga, bahkan lima kilometer dan harus menyeberang dengan sampan untuk mencapai Sekolah Dasar (SD)  terdekat,” tuturnya. Hanya ada satu SMP di tempat ini. Sementara SMA berada di Kota Cilacap.

Ia pun mulai mengumpulkan anak-anak di sekitar rumah. Rumahnya dipergunakan sebagai sekolah. Tatik mengajar anak-anak dengan sangat sederhana. Pada 1989, ia diminta Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial (YBKS) Surakarta untuk mengikuti kursus guru Taman Kanak-kanak (TK).

TK pun harus berhenti karena alasan tak ada lagi anak-anak yang berusia TK. Namun, orangtua lalu mendesak Tatik membuka SD. Tatik sempat ragu. “Saya tidak memiliki ijazah atau sertifikat mengajar,” ucapnya ragu. Tetapi masyarakat terus mendesak. Tatik segera menghubungi pihak SD yang ada, untuk dijadikan sekolah induk. Ternyata izin keluar. Mulailah ia mengajar SD.

Sebanyak 48 siswa dia didik dengan lesehan di rumahnya. Baru pada 2001, Dinas Pendidikan membangun gedung sekolah di dekat rumahnya yang hingga kini masih dipakai. SD ini hanya menampung siswa hingga kelas tiga, untuk kelas empat, anak-anak harus melanjutkan ke sekolah induk.

Saban hari Tatik harus mengajar tiga kelas sekaligus. “Tidak pernah istirahat!” ucapnya. Kelas satu dan dua diajar dalam satu ruang. Untuk membedakan kelas, mereka duduk di barisan yang berbeda. Sedang kelas tiga berada di ruang yang berbeda.

Setiap siswa hanya dibebani Rp 6.000 setiap bulan. Lima ribu untuk honor Tatik mengajar dan seribu rupiah untuk membeli peralatan kelas. Namun, Tatik tak dapat berharap banyak. Karena dalam satu bulan hanya sepuluh atau bahkan tak seorang siswa pun yang membayar. Untunglah, banyak pihak yang membantu dia.

Dari 48 siswanya, hanya 15 anak yang melanjutkan hingga lulus SD. “Banyak yang sakit malaria, dan karena alasan biaya, tidak mau melanjutkan sekolah,” ceritanya. Meskipun setiap ada anak yang sakit malaria atau alasan kekurangan biaya dan menunjukkan tanda-tanda akan keluar sekolah, Tatik mengunjunginya. “Saya selalu menandaskan, agar anak-anak harus tetap sekolah. Tidak perlu memikirkan soal biaya,” tuturnya.

Seiring perkembangan waktu, kerja keras Tatik menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pendidikan. “Kalau dulu hanya saya yang lulusan SMA, Tapi sekarang sudah banyak yang melanjutkan hingga SMA,” katanya. Sebagai penghargaan atas kerja kerasnya, masyarakat menyebut sekolah yang dirintis Tatik dengan sebutan ‘Sekolahnya Bu Tatik’.

Anak-anak Kampung Laut berangkat sekolah.
photo: tubasmedia.com

Tanpa kurikulum
Atas kerja yang tanpa lelah dalam dunia pendidikan, sejak tahun ajaran 2005-2006, setiap hari Senin hingga Rabu, Tatik dipercaya membantu mengajar di Pasuruan, sebuah dusun berjarak lima kilometer dari rumahnya. Meski jauh, Tatik tetap melakukan dengan sukacita.

Untuk mencapai Pasuruan, Tatik harus menyusuri tanggul saluran air yang merupakan jalan satu-satunya. Jika musim kemarau, ia dapat mengendarai sepeda motor bekas miliknya. Namun, sepeda motor harus beberapa kali dituntun ketika melewati jembatan bambu yang tidak memiliki penghalang di kanan kiri. Tapi jika musim penghujan datang, Tatik mesti berangkat lebih awal, pukul enam pagi. Berjalan kaki dengan sepatu boot dan jas hujan. Jalanan tanah amat licin dilalui sepeda motor.

Di Pasuruan, Tatik harus mengajar dua kelas sekaligus dengan 10 siswa. Kelas dua, dua siswa dan kelas tiga, tujuh siswa. Untuk kelas satu diajar guru lain yang tinggal di Pasuruan. Karena hanya menggunakan balai pertemuan RT, kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Bangunan berukuran 3 x 6 meter ini hanya terbuat dari kayu. Berlantai tanah. Dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu sudah ‘bolong’ di beberapa bagian. “Sebenarnya sudah tidak layak dipakai untuk sekolah, tapi bagaimana lagi, adanya hanya itu,” tutur Tatik.

Kondisi memprihatinkan tak menyurutkan semangat belajar. “Justru banyak siswa yang saya ajar dengan kondisi yang memprihatinkan, ternyata dapat berprestasi ketika mereka melanjutkan ke sekolah induk,” cerita Tatik bangga. Hal ini, menurut Tatik, dikarenakan cara mengajar yang tidak mengikuti kurikulum yang ada. “Kalau di sekolah lain yang lengkap fasilitas, kadang saya mendengar anak-anak sangat tertekan dengan kurikulum yang ada. Tapi anak-anak di sini tidak merasakan hal itu. Mereka justru sangat senang belajar,” ujar Tatik.

Tatik bersama anak didiknya.
photo: y.prayogo
Pengalaman dan kesenangan membaca, membuat cara mengajar Tatik lebih bervariasi. Ketika mengajarkan tentang IPA yang berhubungan dengan biota laut, Tatik akan membawa anak-anak ke lapangan. Mengamati hutan bakau dan hewan-hewan laut yang ada mengelilingi kehidupan mereka. Kesempatan ini, juga dipergunakan untuk mengajak anak-anak menjaga kelestarian lingkungan. Begitu juga dengan mata pelajaran yang lain. Tatik akan mengajar dengan memberikan contoh-contoh konkret yang dekat dengan dunia anak-anak. “Dengan cara seperti ini, kok saya melihat anak-anak justru lebih cepat mengerti dan paham. Berbeda jika diuraikan sesuai dengan yang ada di buku. Saya hanya ingin orang-orang di sini pintar. Karena dengan pintar, orang dapat mengatasi persoalannya sendiri dan juga masyarakat.”