26 Jul 2013

Wisata “ngak ngik ngok” di Taman Suropati

Lamat-lamat suara “ngak ngik ngok” terdengar begitu menjejakkan kaki di Taman Suropati yang awalnya bernama Burgemeester Bisschopplein di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Meski beradu dengan deru mesin kendaraan bermotor yang melintas di Jalan Diponegoro, JalanTeuku Umar, dan Jalan Imam Bonjol, suara-suara itu makin dominan. Apalagi jika semakin melangkah masuk taman ini, suara kian jelas terdengar.

Ya, suara “ngak ngik ngok” itu berasal dari beberapa kelompok orang yang sedang belajar musik, terutama alat musik gesek, biola. Mereka dibagi dalam kelompok-kelompok sesuai dengan kemampuan. Ada yang masih belajar do re mi. Ada yang sudah agak mahir. Ada pula yang sudah sangat piawai memainkan alat musik. Suara-suara itu, meski tak beraturan, bagai membentuk sebuah orkestra di tengah keteduhan taman yang dibangun saat pemerintahan walikota (burgemeester) Batavia yang pertama G.J. Bisshop (1916-1920).

Mereka adalah komunitas musik Taman Suropati Chambers (TSC). Setiap hari Minggu mereka berkumpul dan bermain musik di Taman Suropati. Mereka berlatih mulai pukul 10.00 hingga 12:00 WIB, bahkan terkadang hingga hari gelap. Anggota TSC terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar musik. Mulai dari pedagang, pelajar, pegawai kantor, hingga pengusaha. Bahkan pengamen juga ada di komunitas ini. Saat ini anggota komunitas ini lebih dari 150 orang.

Awalnya berlatih musik di sini tak dikenakan biaya. Namun, karena anggota kian bertambah, maka tiap anggota dikenakan iuran sebesar 100 ribu rupiah setiap bulan. Dana itu sebagai ganti ongkos fotokopi teks lagu dan hal-hal lain yang berhubungan dengan acara komunitas.

Komunitas TSC awalnya digawangi Ages Dwiharso. Pada 2006, Ages mengikuti workshop keroncong di Den Haag, Belanda. Di Negeri Kincir Angin, ia menyaksikan beberapa musisi memainkan musik di taman kota. Ia pun ingin membuat hal yang sama di Indonesia. Bersama tiga rekannya, Ages pun membentuk Komunitas TSC tepat pada hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2007. TSC pernah menggelar konser di Balai Sidang Jakarta dan diundang tampil di Istana Negara dalam acara Parade Senja.

   

23 Jul 2013

Pemahat Alam dari Saham

Desa Saham nampak lenggang di awal Desember 2010 lalu. Hanya beberapa orang yang terlihat lalu lalang. Di desa yang terletak di Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat ini membentang sebuah rumah panggung dengan ketinggian sekitar empat meter dan memiliki panjang 200 meter. Inilah Rumah Betang, rumah adat Dayak Kanayan. Rumah panjang yang usianya lebih dari 300 tahun ini telah dihuni masyarakat Dayak Kanayan selama enam generasi.


Siang itu, Albertus sedang sibuk memahat. Di Rumah Betang inilah, Albert berkarya. Ia memahat kayu-kayu yang disediakan alam dan menjadikannya sebuah karya seni. Meski tampak sederhana dan jauh dari kesan seorang seniman yang populer, namun Albert bukanlah seniman yang biasa-biasa saja. Bakatnya lahir dari alam. Mata seninya amat tajam mengangkat nilai-nilai budaya Dayak. Tak heran, jika karyanya banyak dilirik para penikmat, pemerhati, dan kolektor seni. Bukan hanya dari Indonesia saja, tapi para penikmat karya Albert juga datang dari mancanegara. Para wisatawan dan pemburu koleksi patung dan ukiran khas Dayak dari mancanegara kerap bertandang ke rumahnya.

Alamlah yang membentuk jiwa seninya. Alam yang telah menempa dirinya menjadi pribadi yang mampu berolah rasa dan memaknai setiap peristiwa. Albert memang lahir sebagai pematung. Meski tak pernah mengenyam pendidikan seni secara formal, tapi darah yang mengalir di jari-jarinya adalah darah seorang pematung. “Ini panggilan hidup saya!” tandasnya.

Dari tangannya yang kasar, telah lahir ratusan karya patung dan ukiran. Karyanya telah melalang buana ke berbagai belahan dunia seperti Belanda, Bulgaria, Perancis, Italia, Belgia, dan di kawasan Asia seperti Jepang, Korea, Cina dan Filipina.

Dan, Albert pun akan terus berkarya memahat kayu-kayu yang disediakan alam. Karya-karyanya itu akan berumur panjang, sepanjang usia Rumah Betang, tempat tinggalnya.