14 Feb 2015

Menyusuri Adat Kelola Hutan ala Dayak Iban

Rumah Betang Sungai Utik (y.prayogo)

BERKUNJUNG ke Rumah Panjang atau Rumah Betang Sungai Utik merupakan pengalaman yang tak bisa dihapus begitu saja dari ingatan. Tapi sayang, saya hanya singgah sejenak di “rumah raksasa” ini. Meski sejenak, saya mendapat aneka pencerahan. Ingin rasanya terbang kembali ke sana.

Untuk mencapai Rumah Panjang ini, juga butuh perjalanan yang cukup panjang. Jika menggunakan jalur darat, perjalanan dari Pontianak, ibukota Kalimantan Barat harus ditempuh sejauh 647 kilometer atau sekitar 24 jam perjalanan darat. Itupun jika tak menemui aral melintang di jalan, seperti air sungai pasang, pohon tumbang, atau yang lain.

Jika tak mau terlampau lelah, sebenarnya perjalanan bisa menggunakan pesawat terbang dari Bandar Udara Supadio Pontianak menuju Putusibau. Tiket pesawat tentu harus dipesan terlebih dahulu. Karena jalur ini termasuk jalur yang cukup padat. Dari Putusibau, perjalanan dilanjutkan dengan perjalanan darat sekitar dua jam menuju Rumah Betang Sungai Utik.

Atau jika mau tantangan yang lebih ekstrem, bisa menggunakan jalur sungai. Dari Pontianak menyusuri Sungai Kapuas ke arah hulu hingga kota Putusibau. Dari kota kecil ini, perjalanan susur sungai dilanjutkan menuju Sungai Utik. Tapi pasti dibutuhkan waktu berhari-hari, bahkan bisa berminggu-minggu baru sampai di Rumah Betang Sungai Utik.

Di sekitar Rumah Betang Sungai Utik tak ada hotel atau penginapan. Hotel paling dekat berada di kota Putusibau, yang berjarak sekitar dua jam perjalanan dengan mobil. Namun tak perlu khawatir. Karena penghuni Rumah Betang Sungai Utik pasti akan amat senang jika tamu menginap di bilik mereka.

Di pelataran Rumah Betang Sungai Utik yang berbentuk rumah panggung (y.prayogo) 

Rumah Betang atau orang setempat menyebutnya Ruma Panjae ini membujur sepanjang 200 meter dengan 37 pintu. Pintu merupakan istilah untuk satu bilik dalam rumah betang. Di antara bilik terdapat sebuah jendela yang menghubungkan bilik yang satu dengan lainnya. Sekitar 70 keluarga hidup bersama dalam rumah ini. Di sini, hidup masyarakat Dayak Iban.

Rumah Betang Sungai Utik berada di wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Nama Sungai Utik diambil dari sungai yang mengairi daerah ini sepanjang masa.

Dari masa ke masa, masyarakat Dayak Iban menghidupi tradisi, sembari menjaga kelestarian hutan. Mulai dari nenek moyang hingga kini, masyarakat Dayak Iban amat tertib menjaga hutan. Menjaga hutan sudah menjadi aturan dalam adat mereka. Dan hal itu dipahami sejak dari orangtua yang diturunkan kepada anak, kepada cucu, dan seterusnya hingga kini.

Jendela antarbilik di Rumah Betang Sungai Utik
(y.prayogo)
Di hutan seluas 9.452,5 hektar, siapapun yang berkunjung ke sini, bisa belajar tentang komunitas Dayak Iban yang mampu hidup dan bekerja sama dengan alam, mengelola hutan dengan cara yang adaptif untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Nah, atas informasi ini, melalui Lomba Blog Pegipegi, saya mengajak siapa saja yang ingin melihat dan belajar mengelola hutan bersama masyarakat Dayak Iban. Sejenak meninggalkan kesibukan dan kepenatan untuk melongok kabar hutan hujan tropis di Kalimatan Barat ini.

Masyarakat Dayak Iban membagi tiga hutan adatnya. Pertama, Kampong Taroh, merupakan kawasan hutan yang boleh ada kegiatan perladangan. Hutan ini juga berfungsi untuk melindungi mata air serta tempat berkembang biak satwa. Hutan ini berada di kawasan hulu sungai.

Kedua, Kampong Galao, merupakan kawasan hutan cadangan. Kegiatan yang diperbolehkan di kawasan ini adalah mengambil tanaman sebagai bahan obat, mengambil kayu api, serta menebang pohon untuk membuat sampan. Pemanfaatkan hutan ini sangat terbatas dan diawasi dengan amat ketat. Bahkan, jika ada yang melanggar akan dikenai sanksi adat.

Ketiga, Kampong Endor Kerja, merupakan kawasan hutan produksi, di mana hutan ditujukan untuk fungsi produksi dan dikelola secara adil dan berkelanjutan. Di kawasan ini boleh mengambil kayu dengan syarat berdiameter di atas 30 sentimeter. Selebihnya, kawasan hutan ini difungsikan sebagai sumber bibit.

Kearifan tradisional ini pun membuahkan hasil. Wilayah ini telah ditetapkan sebagai desa adat pertama yang meraih penghargaan sertifikat ekolabel dari Lembaga Ekolabel Indonesia.

Selama hutan masih lestari dan Sungai Utik masih mengalir, kehidupan masyarakat Dayak Iban masih penuh harapan. Seperti harapan para leluhur mereka, kehidupan masyarakat Dayak Iban masih akan terus membujur sepanjang Rumah Betang, tempat tinggal mereka.

“Air adalah darah. Tanah adalah asal dan tempat kembali manusia.” Demikian mereka memaknai setiap jengkal tanah dan setiap tetes air.