16 Okt 2008

Menemukan Tuhan dalam Wajah Korban

Judul : Kesucian Politik; Agama dan Politik di Tengah Krisis Kemanusiaan
Penulis : Patrisius Mutiara Andalas SJ
Penerbit : Libri Jakarta, 2008
Tebal : 254 halaman


Tragedi Mei 1998 meninggalkan tubuh korban yang rusak. Wajah beberapa korban hampir tak dikenali lagi. Tragedi itu meninggalkan luka dan penderitaan. Peristiwa yang memberikan jejak pelucutan atas kemanusiaan. Melihat kondisi korban yang mengerikan itu, mengingatkan kita pada sosok Pontius Pilatus saat mempertontonkan Yesus sebelum mengundinya dengan Barabas di hadapan massa. “Pandanglah manusia yang rusak itu!” ucapnya.

Menolak lupa
Mei 1998 adalah sejarah berdarah yang seharusnya selalu dikenang rakyat Indonesia. Kecuali, mereka yang dengan sengaja menutupi dan melupakan. Mei 1998 menjadi titik balik politik Indonesia, setelah dibisukan rezim otoriter, yang pecah dalam perlawanan mengusung bendera reformasi. Kebisuan berhasil dipecahkan. Reformasi 1998 pun menagih nyawa sebagai biaya politik. Ribuan nyawa hilang dalam kesewenang-wenangan amuk massa. Ribuan perempuan, terutama etnis Tionghoa dirobek batin dan tubuhnya oleh kebengisan massal. Orangtua harus merelakan anak-anaknya menjadi jasad yang tak dikenali.

Penulis buku ini, mencoba menghimpun kembali daya yang masih tersisa dalam perjuangan melawan politik lupa. Pastor Patrisius Mutiara Andalas SJ pernah mendampingi Paguyuban Keluarga Korban Mei Semanggi. Paguyuban ini terus setia pada panggilan nurani kemanusiaan. Mereka berjuang bagi orang-orang yang mereka cintai. Mereka terus melawan pelupaan pada korban sejarah perubahan bangsa ini. Bukan untuk menggulingkan kekuasaan, namun untuk mengingatkan, bahwa martabat kemanusiaan pernah dilecehkan di negeri ini.

Merangkul korban
Kesewenangan kekuasaan tidak hanya terjadi di Indonesia. Itu adalah sejarah kelam bangsa-bangsa di dunia. Penulis merajut kisah-kisah korban dalam suatu dialog imajiner. Kisah-kisah itu membawa pembaca pada satu kesadaran, bahwa kita pernah dan hampir melupakan suara-suara korban itu. Melalui kisah-kisah pergumulan kemanusiaan yang terentang dari para ibu Plaza de Mayo, Rigoberta Menchu, Aung San Suu Kyi, Elie Wiesel, Hannah Arendt, Jon Sobrino, serta keluarga korban tragedi kemanusiaan di Indonesia, penulis mengajak pembaca untuk mendekati tragedi kemanusiaan dari perspektif iman.

Elie Wiesel, seorang korban hidup tragedi Holocaust, menolak berbicara mengenai Tuhan saat mendiskusikan tragedi kemanusiaan Holocaust. Wiesel khawatir, komunitas agama akan memberi kiat, agar para korban melarikan diri pada Tuhan dan melupakan semua. Namun, Wiesel mengundang komunitas agama sebagai saksi kemanusiaan, agar ikut menghentikan atau menahan laju pelupaan pada korban.

Sementara, Jon Sobrino mengusulkan, agar bela rasa menjadi paradigma baru bagi komunitas agama di tengah krisis kemanusiaan. Bela rasa muncul dari rahim perjumpaan dengan penderitaan korban. Agama membuka diri untuk disentuh korban. Perjumpaan dengan korban menumbuhkan persaudaraan dan mendorong komunitas agama menjadi pelaku dalam membangun dunia yang lebih humanis.

Tragedi kemanusiaan mengundang komunitas agama keluar dari altar menuju pelataran. Menjumpai Tuhan dalam diri korban. Tuhan kehidupan yang memanggul penderitaan korban. Seperti teks Kitab Suci yang mengundang komunitas beriman agar berani memanggul salib bersama Yesus yang juga telah menjadi korban.

Namun, komunitas agama sering kali mencerabut persoalan ini dari wilayah agama, karena menganggap sebagai aktivitas politik. Kecerobohan komunitas agama ini berakibat fatal terhadap kemanusiaan korban. Komunitas agama perlu kembali kepada habitat sosialnya, yakni menjadi pelaku politik. Komunitas agama perlu merangkul korban dan mendampingi perjuangan kemanusiaan mereka, untuk mengetuk nurani bangsa Indonesia.

Tragedi Mei 1998 telah berlalu sepuluh tahun lalu. Paguyuban keluarga korban masih terus berjuang demi keadilan dan humanisasi di Indonesia. Tragedi Mei 1998 seharusnya membangunkan kesadaran komunitas agama, bahwa negara dapat berubah perilakunya. Dari pengayom dan pelindung warga, menjadi pelaku pembiaran, kekerasan, dan diskriminasi. Stigma negara terhadap korban, telah menghancurkan jembatan solidaritas dengan korban.

Tidak ada komentar: