22 Agu 2008

Taman Keukenhof

Tunas musim semi kembali bertumbuh. Kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran. Sepoi angin menebarkan semerbak ganda kehangatan. Aku masih duduk sendiri di sebuah bangku kayu Taman Keukenhof. Sebuah taman bunga yang teramat besar.

Beberapa kupu-kupu terlihat menari-nari. Mengitari bunga-bunga yang berwarna-warni. Seperti angan yang terus menari-nari di antara pelupuk mataku. Masih jelas terngiang di tambur telingaku percakapan satu minggu yang lalu dengan ibu.

“Ibu, waktu tiga tahun masih teramat singkat bagiku untuk melupakannya.”

“Nak, sudah saatnya kau memikirkan kembali janji perkawinanmu dulu ‘sampai maut memisahkan’. Dan kini, maut telah membawa kematian istrimu. Kematian telah memisahkan kalian berdua.”

“Namun, kematian bukanlah berarti mengijinkan aku untuk menikah lagi, Bu.”

“Joan, usiamu masih sangat muda dan kedua anakmu tentu membutuhkan perhatian dan belaian kasih sayang dari seorang ibu. Kau tidak boleh terlalu larut dalam duka!”

“Tidak, Ibu! Aku sudah tidak berduka. Dukaku telah aku kubur. Aku pun sudah berusaha untuk melupakan Anggit. Tapi semakin aku berupaya untuk tidak mengingatnya, bayangan wajahnya justru semakin melekat di hatiku. Anggit telah menjadi bagian dari hidupku. Ia telah menjadi belahan jiwa.”

“Ibu sangat tahu kau berbahagia bersama Anggit. Ibu pun sangat bahagia melihat kalian berdua berbahagia. Tapi kau tidak dapat hidup dengan masa lalu, Nak! Anggit telah menjadi masa lalumu. Kau kini hidup dalam realita dan masa depan kedua anakmu.”

“Aku masih sangat mencintai Anggit, Bu!”

“Dengan selalu pergi ke Taman Keukenhof?”

“Apa itu salah, Bu?”

“Tidak, Joan! Kau tidak salah. Tetapi itu akan selalu membuka masa lalumu.”

“Aku pertama kali bertemu dengan Anggit di Taman Keukenhof. Ketika itu kami masih sama-sama kuliah. Dan di sana pula aku untuk pertama kalinya menyatakan cintaku pada seorang perempuan. Dan di sana juga aku melamarnya untuk menjadi pendamping hidupku untuk selamanya. Hampir setiap tahun kami selalu berkunjung ke sana. Melihat bunga-bunga yang bermekaran. Indah sekali. Banyak kenangan tersimpan di sana, Bu!”

“Jangan kau larut dalam kenanganmu itu, Nak!”

“Cintaku ada di sana, Bu! Bunga-bunga itu selalu menampilkan wajah Anggit. Sosoknya yang bersahaja penuh senyum dan selalu memancarkan kasih sayang tiada hentinya. Selalu memberi tapi tak pernah berharap kembali. Dan itu sangat mendorongku untuk lebih mencintai kedua anakku. Lesung pipit Lorens dan tawa Alex adalah bayangan dirinya. Taman Keukenhof telah menjadi saksi cinta kami. Tempat kami saling menabur benih-benih cinta, menyiraminya sepanjang waktu dan menuai buah-buah kebahagaian.”

“Joan, Anggit telah tiada. Dan kau harus hidup dalam realita. Tataplah ke depan! Kau harus berani hidup tanpa bayang-bayang wajah Anggit. Kau membutuhkan pendamping hidup yang nyata dan ada di sisimu. Seorang istri yang akan mengasuh dan mengasihi kedua anakmu. Serta selalu menemanimu setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap bulan, setiap tahun dan untuk selamanya. Joan, jangan kau pergi ke Taman Keukenhof lagi!”

“Tidak, Bu! Aku masih belum dapat melupakan Anggit. Aku masih merasa ia ada di sampingku.”

“Nak, kelak kau akan merasakan apa yang Ibumu rasakan. Satu persatu anakmu akan pergi. Kau akan ditinggalkan orang-orang yang selama ini kau cintai. Mereka akan membentuk dunia mereka sendiri. Dan kau pun akan sendiri. Hanya berteman sunyi dan berdampingan dengan sepi.”

“Itu yang Ibu rasakan setelah ayah pergi?”

“Yah, sepeninggal ayahmu, Ibu merasa hidup sendiri. Makanya Ibu ada di sini. Membuang rasa sepi. Menawarkan sunyi. Tapi, tentu Ibu tak dapat lama tinggal di sini. Rumah tak ada yang merawat.”

“Ibu sudah mau pulang ke Indonesia?”

“Cepat atau lambat, ibu harus pulang. Ibu di sini hanya ingin mendorongmu untuk kembali menetap ke masa depan. Bukan maksud Ibu untuk mencuri kenangan kebahagiaanmu bersama almarhumah istrimu.”

“Perlukah aku untuk menikah lagi, Bu?”

Ibu tak menjawab pertanyaanku. Ia berdiri dan mendekatiku. Duduk di sampingku. Ia memelukku dengan hangat dan lembut. Ia menatap wajah Anggit yang terpampang di dalam sebuah bingkai foto. Aku sengaja mengantung foto Anggit di ruang tengah, agar aku dapat menatapnya setiap waktu.

“Ia memang cantik. Cantik sekali. Matanya selalu memancarkan kasihnya. Senyumnya selalu menebarkan kebahagiaan. Pantas kau memilihnya, Nak!”

“Tidak mudah menemukan perempuan seperti Anggit, Bu! Biarlah waktu lebih lama bagiku. Setelah anak-anak lebih dewasa untuk menerima kehadiran seorang perempuan lain sebagai pengganti ibunya. Dengan segala kelebihan dan tentu kekurangannya.”

“Kau memang keras kepala seperti ayahmu.”

“Tapi Ibu sangat mencintai ayah, kan?”

“Ayahmu kadang tak mau mendengarkan pendapat orang lain. Ia berpendirian teguh. Maunya menang sendiri!”

“Dan ibu sangat bahagia hidup bersama ayah?”

“Tentu”

“Meskipun ayah seorang yang keras kepala?”

“Itu hanya salah satu sifatnya saja.”

“Kalau demikian, keras kepala dalam satu hal saja, tidak mengapa bukan?”

“Apakah itu wujud kesetiaanmu pada Anggit?”

“Ibu yang mengajariku. Ibu telah menunjukkan kesetiaan yang luar biasa pada ayah. Meski ayah seorang yang keras kepala, Ibu dengan sangat sabar mendamping ayah hingga akhir hayatnya. Bahkan sampai sekarang aku masih dapat melihat kesetiaan itu memancar dari lubuk hati ibu.”

“Kau masih muda, sedang Ibumu ini sudah terlalu tua, Nak.....” Ibu terdiam sesaat. Meski usianya yang mulai menjelang kepala tujuh, Ibu masih terlihat sangat bijaksana. Kepikunan belum tersirat dalam ketuaan wajahnya. Meski kerut-kerut di raut mukanyanya semakin menonjol, aku masih dapat melihat kecantikan menebar dari wajahnya. Mungkin ini karena ia adalah seorang mantan bidan di desa. Maka makna hidup sangat mengendap dalam di hatinya. Dan sangat berarti dalam menjalani hidupnya. Ia terlalu sering membantu orang-orang yang miskin, yang tak mampu membayar biaya persalinan. Ia terlalu sering membukakan jalan bagi kehidupan yang baru.

“Tuhan telah memberi kita waktu untuk menabur, waktu untuk memelihara, dan waktu untuk memanen. Tuhan memberi kita waktu untuk mencintai dan dicintai, waktu untuk menyayangi dan disayangi, waktu untuk mengasihi dan dikasihi. Kita boleh mengatur waktu, tetapi Tuhan yang menentukan segalanya. Kini, keputusan ada di tanganmu, Nak! Dan Ibu yakin apa pun keputusanmu, itulah yang terbaik untukmu dan kedua anakmu itu.”

“Terima kasih, Bu!”

Aku kecup kening dan kedua pipi Ibuku. Aku memeluknya erat. Erat sekali. Kami pun larut dalam pelukan yang penuh kehangatan kasih sayang.

“Joan, minggu depan Ibu akan pulang ke Indonesia. Bolehkah anak-anakmu ikut dengan Ibu?”
“Tentu saja, Bu! Nanti akan saya tanyakan pada mereka berdua.”

Satu minggu kemudian, aku mengantar ibu dan kedua anakku ke Bandara Schiphol di Amsterdam. Sebenarnya ada rasa berat dalam hatiku.

“Hati-hati, ya! Kalian tidak boleh nakal di sana! Ayah pasti merindukan kalian.” ucapku sembari mengecup kening Alex dan Lorens.

“Ayah juga hati-hati, ya! Aku juga pasti rindu ayah!” balas Lorens.

Pesawat perlahan bergerak. Dan akhirnya lepas landas. Meningalkanku dalam kesendirian. Aku masih berdiri memandangi pesawat hingga termakan gumpalan awan putih. Ada sedikit air yang menggantung di kedua pelupuk mataku. Aku segera menghapusnya.

Kini, semua harus kukerjakan sendiri. Kujalani sendiri. Kesunyian mulai menyelimutiku. Kesepian serasa bergelayut dan mencengkeram hatiku. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dari diriku. Mungkin benar yang dikatakan Ibu. Sudah hampir lima belas tahun, aku tak pernah sedetik pun tinggal di rumah sendiri. Semua kujalani bersama.

Aku masih duduk sendiri di bangku kayu Taman Keukenhof. Secangkir kopi telah kuhabiskan. Orang berlalu lalang tanpa menghiraukan keberadaanku sedari tadi. Sepasang kekasih terlihat sedang berciuman mesra di tengah rimbunan bunga-bunga yang berwarna-warni. Membuat hatiku iri.

Namun, sejurus kemudian, aku terhenyak. Aku mencium bau wewangian yang sangat aku kenal. “Anggit...!” bisikku dalam hatiku.

Seorang perempuan bergaun putih bersih melenggang pelan di depanku. Beberapa jenak ia berhenti. Menoleh ke arahku dan melemparkan sebuah senyum. Lalu berjalan menjauhiku.

“Ya, Tuhan, mimpikah aku? Bau parfum itu...gaun putih itu...senyum itu... Bukankah itu Anggit?” tanyaku pada diriku sendiri.

Aku segera bangkit dari tempat dudukku. Dengan perlahan mengikuti perempuan itu. Aku terus mengikutinya hingga perempuan bergaun putih itu berhenti. Perempuan itu mengambil duduk di bangku kayu di bawah sebuah pohon. Aku segera menghampirinya.

“Mengapa ia sangat mirip dengan Anggit, istriku?” Aku bingung. Bulu kudukku berdiri. Jantungku berdegup cepat sekali. Rasa takut semakin menguasai diriku. Aku memberanikan diri untuk duduk di sampingnya. Perempuan itu diam. Kepalanya tertunduk.

“Siapa kamu?” tanyaku padanya.

Ia tak segera menjawab. Untuk sekian lama kami terdiam. Dengan sangat pelan-pelan perempuan itu mengangkat wajahnya. Matanya menatap ke arahku. Senyumnya tersungging lembut di bibirnya.

“Ya, Tuhan!” ucapku dalam hati. Aku beringsut dari tempat dudukku. Mencoba menatapnya dalam.

“Kau sudah tak mengenalku, Mas?”

Aku diam. Tak menjawab pertanyaan.

“Aku Anggit, Mas! Istrimu!”

“Tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Kau bukan istriku! Istriku telah meninggal tiga tahun yang lalu!”

“Parfum yang aku pakai dan gaun pengantin ini! Kau sudah melupakannya, Mas?”

Aku kembali diam. Tak percaya dengan apa yang sedang terjadi di hadapanku. Parfum itu memang milik Anggit. Begitu juga gaun pengantin itu. Gaun itulah yang ia pakai saat menikah denganku. Itu semua milik Anggit!

“Yah..., Taman Keukenhof! Di sinilah kita pertama kali bertemu. Di sini pula kau nyatakan cintamu padaku. Dan di sini pula kau melamar aku untuk menjadi istrimu. Di taman ini pula, kita sering menghabiskan waktu bersama...”

Ia terdiam beberapa saat.

“Oh, ya Mas, bagaimana kabar Alex dan Lorens, anak kita? Mereka baik-baik saja, bukan?”
“Tidak! Tidak!”

Hanya itu yang keluar dari mulutku. Aku masih tidak percaya dengan kejadian yang ada di depan mataku.

“Aku tahu, Mas, kau sangat kesepian semenjak kepergiaanku. Aku juga tahu, kau masih sangat mencintaiku. Aku pun masih mencintaimu, Mas! Maka dari itu aku datang menemuimu. Tapi kau tak boleh menyiksa dirimu seperti ini, Mas! Kau tak boleh larut dalam kesepian ini terus-menerus. Kasihan Alex dan Lorens!”

“Kau...kau...kau bukan istriku. Istriku sudah mati. Sekarang kau pergi dari sini! Pergi kataku! Pergiiii!!” aku berteriak sekeras-kerasnya.

“Aku memang sudah pergi, Mas! Kita tak mungkin bersama-sama lagi. Kita pernah bertemu, tapi kini kita telah berpisah. Aku tak mungkin lagi hadir dalam kehidupanmu. Carilah penggantiku, Mas! Berilah anak-anak kita ibu yang baru. Ibu yang akan selalu mengasihi dan mencintai mereka. Serta mendampingimu setiap waktu.”

“Pergiiiii..!” teriakku sekali lagi.

“Baiklah, Mas! Aku akan segera pergi! ” katanya terbata.

Perempuan itu lalu berdiri. Aku melihat pipinya basah. Air mengalir dari matanya. Ia menunduk dan berlalu sambil menghapus air matanya. Dengan langkah gemulai ia berjalan meninggalkanku. Aku terus memandangi kepergiannya. Bunga-bunga Taman Keukenhof menelan sosok perempuan itu.

“Benarkah perempuan itu Anggit, istriku?”

Aku ragu. Aku bimbang. Aku tak tahu apa sedang terjadi dalam diriku.
Aku masih duduk sendiri di bangku kayu Taman Keukenhof. Kuhempaskan punggungku ke sandaran bangku. Tubuhku lemas sekali. Sendi-sendiku terasa mau lepas. Jantungku masih berdegup kencang. Kudongakkan kepalaku. Mataku basah. Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Tanganku dingin sekali.

Aku berdoa pada Tuhan, agar Dia segera mengirimkan malaikat-malaikat-Nya ke sini. Menjagai aku. Menemani aku. Aku yang masih duduk sendiri di bangku kayu Taman Keukenhof.

“Tuhan, aku tak mau sendiri lagi!”

maret 2007
(dimuat di Majalah FEMINA)

Tidak ada komentar: