29 Mei 2009

Yusuf Daud; Berjalan Menuju Roma

Senin, 6 Oktober 2008 menjadi hari bersejarah bagi Yusuf Daud. Itulah hari pertama, kakinya menginjak Kota Abadi, Roma, Italia.

KETIKA sampai di bandara, Yusuf, demikian ia kerap disapa, telah dijemput seorang pastor asal Indonesia. Sambutan ala Italia pun segera digelar, yakni minum cappucino. Usai melepas lelah, Yusuf bergegas menuju Basilika St Petrus Vatikan. Saat menjejakkan kaki di Basilika St Petrus, Yusuf merasakan sebuah tarikan energi yang sangat kuat. Batinnya berujar, “Energinya sangat kuat. Sama seperti saat saya masuk Masjidil Haram di Mekkah.”

Yusuf adalah mahasiswa Muslim asal Indonesia yang pertama kali mendapat beasiswa dari Nostra Aetate, sebuah lembaga kepausan yang peduli pada hubungan antaragama. Selama satu semester, bapak tiga anak ini berada, hidup, bergaul, belajar dan bergumul di Vatikan. Seluruh biaya hidup, sewa apartemen dan keperluan kampus ditanggung pemberi beasiswa. Tak tanggung-tanggung, ia belajar di tiga universitas ternama; Universitas Gregoriana, Angelicum dan Pisai. “Saya betah tinggal di Vatikan. Maunya sih lama. Saya seperti ‘raja’. Walau beda agama, beda bangsa, tapi saya diterima dengan penuh kasih sayang,” ujar pria kelahiran Jakarta, 4 November 1974 ini.

Ke Vatikan
Semua itu bermula, ketika suatu hari di akhir 2006, Yusuf berkenalan dengan Sr Gerardette Philips RSCJ. Perkawanan itu pun kian karib. Apalagi, Sr Gerard kerap berbagi pengalaman di Sufi Centre Myskatul al-Anwar Padepokan Thaha, tempat Yusuf berkarya sebagai kepala departemen hubungan internasional. Padepokan Thaha, yang terletak di Jl. Suryo No. 2 Kebayoran Baru, Jakarta Selatan ini dirintis Kyai Haji Rahmat Hidayat sejak tahun 1992.

Menurut Yusuf, padepokan ini mengajarkan nilai-nilai universalitas dan spiritualitas Islam. Pada waktu tertentu, padepokan ini juga mengundang tokoh-tokoh agama lain. “Kita ingin mewujudkan Islam yang rahmatan lil‘alamin. Islam yang menjadi rahmat bagi siapa saja,” urai pria yang pernah bekerja di beberapa hotel ini.

Nah, suatu hari, Sr Gerard menawari Yusuf mengambil beasiswa kuliah di Vatikan. Yusuf tersentak mendapat tawaran itu. Ia sungguh tak menyangka. “Kalau ke Mesir, Libya, atau Arab, itu sudah biasa, karena saya seorang Muslim. Tapi, ini tawaran ke Vatikan, markas besarnya orang Katolik. Ini sungguh luar biasa!” ucapnya bersemangat.

Yusuf pun segera mempersiapkan segala sesuatunya, mengirim dokumen persyaratan, mengikuti tes tertulis dan wawancara, hingga mendapatkan rekomendasi dari Kedutaan Besar Vatikan untuk Indonesia di Jakarta. “Alhamdulilah... Puji Tuhan, saya lulus dan bisa berangkat ke Vatikan,” ungkapnya.

Selama di Vatikan, Yusuf tak hanya belajar tentang kekatolikan di bangku kuliah. Ia, seperti tak mau diam. Ia ingin memanfaatkan waktu yang pendek itu untuk mempelajari segala sesuatu tentang kekatolikan. Ia ingin merasakan tiap denyut kehidupan di Vatikan. Setiap ada kegiatan yang diadakan para biarawan/biarawati asal Indonesia di Vatikan, Yusuf pasti terlibat. Ia pun selalu hadir pada Perayaan Ekaristi yang dipimpin Paus Benediktus XVI. Di sela-sela kuliah, ia juga kerap bertandang ke biara-biara. “Ketika bertemu, berbicara, atau berdiskusi dengan saudara-saudara saya yang Katolik, saya merasakan, di situlah dialog antaragama sedang terjalin,” ujarnya.

Bertemu guru
Sebelum pergi ke Vatikan, Yusuf memendam sebuah mimpi. Mimpi itu telah terjalin saat Sr Gerard memberinya piagam yang ditandatangani Paus Benediktus XVI. Saat menerima piagam itu, Yusuf menorehkan sebuah kalimat di piagam itu. “Tuhan, berikan saya kesempatan untuk menemui seorang pemimpin agama dunia, yakni Paus Benediktus XVI,” tulisnya.

Akhirnya, mimpi Yusuf terwujud. Rabu pagi, 4 Februari 2009, Yusuf terlihat berpakaian rapi. Ia pun segera bergegas ke sebuah aula di mana Paus menggelar audiensi umum. Ia hanya ingin bertemu Paus dari jarak yang dekat. Tak disangka, ia mendapat bangku paling depan, paling dekat dengan Paus. Usai audiensi umum, sekitar pukul 10.30, Paus berjalan menghampiri hadirin yang duduk paling depan. Jantung Yusuf berdegup keras. “Mimpiku akan terwujud!” teriaknya dalam hati.

Dan, ternyata benar. Paus menghampiri dan menyodorkan tangan. Yusuf segera merengkuh tangan Paus dengan kedua tanganya dan mencium penuh takzim. Tak hanya itu. Paus memberi sebuah cenderamata berupa Rosario dan sempat bercakap dengan Yusuf. “Saya Yusuf Daud, Muslim dari Indonesia,” ujarnya kala itu pada Paus. “Walau berbeda, mari kita melakukan yang terbaik bagi kebaikan dunia,” kata Yusuf menirukan pesan Paus.

Setelah Paus berlalu, Yusuf duduk termenung. Tak sadar, air matanya keluar dari pelupuk matanya. Mulutnya seperti tak mampu melontarkan kata-kata lagi. “Mimpiku sungguh terwujud!” ujar batinnya. Yusuf mengaku, itulah puncak perjalanannya selama di Vatikan.
Paus Benediktus XVI, bagi Yusuf adalah sosok yang menjadi inspirasinya, sosok guru yang menebarkan jala penuh kasih sayang. Meski bertemu singkat, Yusuf mendapat segenggam semangat untuk menyebarkan nilai-nilai kasih sayang dan cinta pada semua orang. Bahkan, Rosario pemberian Paus pun masih ia genggam. “Saya sering memakainya sebagai tasbih. Walau ada salib di situ, tak jadi soal. Bukan bermaksud mencampuradukkan agama,” akunya. Salib, bagi Yusuf, adalah simbol yang penuh makna. Menurutnya, setiap manusia memanggul ‘salib’ masing-masing menuju Bukit Golgota. “Bukit Golgota itu ya rumah Tuhan,” imbuhnya.

Ke rumah Tuhan

Setelah enam bulan belajar di Vatikan, Yusuf kembali ke Tanah Air pada Selasa, 17 Februari 2009. Rekan-rekannya, terutama di Padepokan Thaha telah menantinya. Mereka menanti kisah-kisah Yusuf selama di Vatikan. Yusuf pun pulang dengan seonggok cita-cita.

Yusuf ingin mengembangkan dialog antaragama hingga akar rumput. Tidak hanya berhenti pada dialog antar elite atau pemuka agama saja. Maka, menurutnya, para pemuka agama harus memberikan pemahaman, bahwa agama boleh beda, tapi nilai yang di tuju sama, yakni nilai kemanusiaan yang menuju pada Tuhan. Dialog antaragama juga tak melulu soal teologi, spiritualitas, atau filsafat, tapi juga soal pendidikan, kemiskinan, atau kesehatan. “Itu sebenarnya sudah dikembangkan di Padepokan Thaha,” urainya.

Ia juga berpendapat, masih banyak pemuka agama yang hanya mengajar umatnya hanya sisi lahiriah atau syariatnya saja dan mengabaikan sisi yang lebih dalam lagi, yakni sisi hakikat dari sebuah agama. “Jika hanya mengajarkan syariat saja, maka akan banyak terjadi benturan dengan agama lain. Karena, syariat itu akan berujung pada hukum. Dan, hukum pasti mencari yang benar dan yang salah,” paparnya.

Padahal, menurut Yusuf, jika mengajar hingga hakekat, maka ketika terjadi kesalahan, tidak mudah menyalahkan. “Agama tak hanya soal hukum. Agama tak hanya syariat. Agama itu juga cara manusia berteknologi. Agama itu juga cara bercocok tanam. Agama itu juga cara berkomunikasi. Agama itu bagaimana kita menerima semua makhluk Tuhan dengan penuh kasih sayang. Jadi, kalau agama tidak mengajak manusia berpasrah total hanya kepada Tuhan, itu bukan agama!” urainya.

Meski berbeda, kata Yusuf, tiap agama mengajarkan tentang kedamaian dan cinta. “Hanya ‘kendaraan’nya saja yang berbeda. Tapi, tujuannya sama,” ungkapnya. Yusuf pun menyitir satu peribahasa, ‘banyak jalan menuju Roma’. “Ya, Roma itu maksudnya rumah Tuhan. Agama boleh berbeda-beda, tapi tujuannya satu, yakni Tuhan,” imbuhnya.