29 Sep 2008

Ahmad Syafii Ma'arif: Harus Keluar Kandang

Senin sore, 15/9, hari masih cerah. Beberapa tokoh agama, praktisi hukum, pengusaha, pejabat pemerintah dan wartawan berkumpul memenuhi ruang pertemuan Gedung Dakwah Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat.

Mereka menanti kehadiran Prof. DR. Ahmad Syafii Ma’arif yang baru saja menerima Magsaysay Award 2008 dalam bidang ‘Peace and International Understanding’ di Manila, Filipina, Minggu, 31/8 yang lalu. Penghargaan ini disebut sebagai Nobel-nya Asia. Buya -sapaan akrab Prof. DR. Ahmad Syafii Ma’arif- adalah tokoh Indonesia ke-19 yang memperoleh penghargaan itu.
Acara ini memang digelar sebagai tasyakuran bersama atas penghargaan itu, sekaligus berbuka puasa bersama. Buya datang berbalut busana batik. Ia didampingi sang istri, anak menantu dan cucunya. “Penghargaan ini sangat berat bagi saya. Saya tidak hebat, istri saya tahu itu,” ujarnya saat menyampaikan sambutan.

Ramon Magsaysay adalah mantan presiden Filipina yang ketiga (1953-1957). Ia berdarah campuran, Melayu, Spanyol dan China. “Ia bukan intelektual, tapi ia banyak banyak berbuat. Dia presidennya orang miskin. Presidennya penegakkan keadilan. Presidennya para petani!” tegas pria kelahiran Sumpurkudus, Sumatera Barat, 31 Mei 1935 ini.

Masih di kandang
Ditemui usai acara, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah (1999-2004) ini, mengurai pandangannya tentang gerakan membangun budaya damai antara agama di Indonesia. Ia menegaskan, Al-Quran adalah Kitab Suci yang sangat toleran. “Lebih toleran dari pada orang Islam!” tegasnya. Beberapa ayat berbicara tentang kebebasan beragama. “Nabi Muhammad pun tak pernah memaksa orang untuk masuk ke agama Islam. Itu sangat jelas. Nabi sangat akomodatif pada semua orang. Karena, tak ada kekuatan duniawi mana pun yang dapat memaksa orang, mengadili, bahkan membunuh keyakinan orang lain!” imbuhnya sembari santap buka puasa.

Mengomentari Hara Raya Idul Fitri 1429 H, Buya mengatakan, bahwa dalam Islam, sebenarnya tak ada perintah menerima zakat. Tapi, yang harus dilakukan umat Islam adalah mengeluarkan zakat. Artinya, menurut Buya, orang Islam itu tak boleh merasa miskin. Namun, kenyataan berkata lain. Di satu sisi, masih banyak orang yang berada dalam kungkungan derita kemiskinan. Dan, di lain pihak, banyak juga orang yang berlomba-lomba pamer kemewahan saat Idul Fitri. “Tidak hanya Idul Fitri! Itu terjadi di semua agama. Lihat saja kemewahan saat Natal. Hari raya agama selalu identik dengan kemewahan. Ini masalah!” tegasnya.

Idul Fitri di Indonesia juga menjadi perayaan untuk saling memaafkan. “Semangat memaafkan adalah perintah Al-Quran,” ujar Buya. Memaafkan, menurutnya, bukan berarti semangat untuk membiarkan kesalahan. Memaafkan adalah ungkapan kepercayaan diri dan sebuah kekuatan. Memaafkan bukan karena lemah, tapi karena percaya diri. “Karena kita mau mengakui kesalahan, lalu minta maaf dan dengan lapang dada mau memaafkan orang lain,” urainya.
Menurut Buya, kedua semangat itu sebenarnya satu idealisme yang harus terus diperjuangkan untuk membangun budaya damai di Indonesia. “Maka, saya menyarankan agar seluruh umat dari agama apa pun harus berani mengkritik dirinya secara tajam. Kita jangan hanya bergaul dengan orang yang seagama saja. Bangsa ini kan plural,” tegasnya. Perjuangan pluralisme di Indonesia, menurutnya, masih memerlukan kerja keras. “Karena agama masih sibuk dengan dirinya sendiri. Tidak mau keluar kandang, hanya bermain di dalam kandang sendiri,” imbuh pendiri Maarif Institute for Culture and Humanity ini.

Itik dan ayam
Selain itu, tantangan kemiskinan juga terus mendera. Jumlah orang miskin terus bertambah, baik secara kualitas maupun kuantitas. Buya mengungkapkan hal itu dengan peribahasa, “Ayam bertelur di atas padi, mati kelaparan. Itik berenang di air, mati kehausan. Itulah bangsa ini. Bangsa yang tuna kepekaan,” katanya. Maka, menurut Buya, agama harus masuk ke dalam persoalan kemiskinan. “Ini salah satu tugas pokok agama. Kalau agama hanya mengurusi hubungan manusia dengan Tuhan, maka, agama tidak terlalu banyak gunanya bagi kehidupan manusia,” imbuhnya.

Hal lain yang menurut Buya menjadi tantangan dalam membangun budaya damai di Indonesia adalah soal kepemimpinan. Menurutnya, selama ini pemerintah lemah dalam melindungi pluralitas di Indonesia. “Saya tidak tahu, apakah bibit pemimpin yang seperti itu ada atau tidak. Apakah rahim Indonesia ini bisa melahirkan pemimpin yang memiliki ketegasan, kearifan, dan pilihan pemihakan pada yang lemah?” ujarnya.

Namun, Buya tetap optimis dengan masa depan perjuangan pluralisme di Indonesia. “Dengan satu syarat, semua orang menempatkan diri secara wajar dalam tataran Indonesia yang plural, terbuka, dan memberi peluang yang lebar bagi tumbuhnya benih toleransi. Termasuk bagi orang yang tak beragama harus diberi hak hidup di muka bumi Indonesia. Planet bumi yang satu ini harus menjadi tempat hidup secara bersama-sama,” tegasnya.

Idul Fitri tahun ini akan jatuh bersamaan dengan Hari Kesaktian Pancasila. Namun, menurut Buya, Pancasila lebih banyak menjadi sebuah retorika politik. “Dimuliakan dalam kata, dipuja dalam tulisan, dikhianati dalam perbuatan!” ungkapnya tegas.

Tidak ada komentar: