20 Nov 2008

Beragama secara Kritis

Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2008
Tebal : 500 halaman

FU adalah bilangan tak berwujud dan fu bukan satu atau nol. Sandi Yuda, seorang pemanjat tebing yang menuturkan kisah ini. Ia memperoleh formula aneh itu saat berayun di sebuah tebing. Yuda terobsesi memecahkan rumus yang diciptakannya sendiri. Rumus fu memang bukan logika­ ma­tematika.


Pencarian fu, menurut penulis novel ini, Ayu Utami, adalah pencarian spiritual. Pen­carian yang menuntun Yuda berte­mu dengan Parang Jati, mahasiswa geologi Institut Teknologi Bandung dari Sewugu­nung. Di kaki Watugunung, pinggir pantai Laut Selatan Jawa Tengah. Jati seorang yang cerdas dan unik. Ia memiliki adik bernama Kupukupu. Karena kemiskinan, Kupukupu menjelma menjadi seorang penganut agama yang radikal, yang menegakkan keyakinan agama dengan pedang. Ia menganggap upacara sesaji dan kepercayaan pada Nyi Roro Kidul adalah musyrik. Namun, Jati justru mendukung sesajen, takhayul, dan berbagai mitos yang diyakini orang-orang desa. Itulah sengkarut peristiwa dalam novel ini yang mengambil seting waktu 1998-2001.

Lewat bentrokan kedua tokoh itu, Ayu Utami menyusupkan kritik terhadap monoteisme. Ideologi Kupukupu memicu kekacauan dan kekerasan di Sewugunung. Ia menghimpun pasukan berjubah dan menghardik para penyekutu Tuhan. Tapi, ia berselingkuh dengan perusahaan tambang yang akan merobohkan Watugunung. Ia juga memancing kehadiran pasukan ninja yang membunuh kiai dengan isu dukun santet.

3M
Lewat Bilangan Fu, Ayu Utami mau mengkritisi pemikiran modern. Pemikiran yang terlalu mengagungkan rasio atau akal yang telah terlampau jauh, sehingga meremehkan nilai-nilai tradisi yang ramah pada alam. Manusia, menurut Ayu Utami, harus menyadari hal yang mendesak untuk dilakukan saat ini, yakni menyelamatkan bumi, bukan akhirat.

Bilangan Fu menyinggung tentang 3M yang menyebabkan kehancuran manusia, yaitu modernisme, monoteisme, dan militerisme. Pemikiran tentang militerisme sebagai musuh demokrasi, muncul sebagai M pertama. Bentuknya muncul sebagai pengekangan pers pada era Orde Baru. Sekarang Indonesia lumayan terbebas dari militerisme, namun menghadapi ancaman baru, yang berasal dari ketidakbebasan pemikiran.

Secara khusus, Ayu Utami menyoroti monoteisme. Ia prihatin atas kesombongan monoteisme atas agama-agama lokal. Agama-agama monoteisme telah merendahkan agama-agama lokal sebagai penyembah berhala. Padahal, sesungguhnya agama lokal memiliki penghormatan terhadap alam. Dan, M yang ketiga adalah modernitas. Ketidakbebasan pikiran, berasal dari kemanjaan yang dipelihara kapitalisme, dan kapitalisme tidak bisa dilepaskan dari modernitas. Ayu Utami berpendapat, bahwa 3M itu sebagai ancaman terhadap dunia post-modernisme.

Spiritualisme kritis
Ayu Utami, dengan sangat kental meniupkan nafas spritualisme kritis pada novel terbarunya ini. Ia mengangkat wacana spritual-keagamaan, kebatinan, dan mistik. Penulis sepertinya ingin membedakan agama dan spiritual. Agama formal tak lebih dari seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan pada pengikutnya. Agama formal bersifat top-down, diwarisi dari rasul, pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga atau tradisi.
Bilangan Fu memberi tawaran cara beragama yang baru, yakni dengan laku kritis. Kritis tidak berarti membabi buta. Ia juga sama sekali tidak anti, apalagi membenci. Kritis terhadap ajaran-ajaran agama, mampu melihat nilai-nilai luhur pada agama asli dan kritis pada agama sendiri agar tak terperosok pada kesombongan dan monopoli kebenaran.

Laku kritis memberi kesadaran agar tak hanya memandang ke langit dan hidup demi surga. Karena, manusia hari ini -dan kelak anak keturunannya- masih tinggal di bumi yang sama. Maka yang utama adalah memelihara alam lingkungan. Demi kelangsungan hidup bumi dan anak-anak generasi nanti. Agama-agama nenek moyang yang meyakini bahwa ada penunggu dalam pepohonan, ada penjaga gaib di gunung-gunung, ada penguasa di dasar samudera. Hal ini perlu dilihat secara kritis, bahwa ada nilai kebijaksanaan agar berhati-hati mengolah alam dan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan.

Dosen Universitas Paramadina yang aktif di Jaringan Islam Liberal (JIL), Luthfi Assyaukanie mengatakan, ide Ayu sederhana saja, yakni animisme itu lebih ramah, menganggap alam sebagai subjek yang dipuja sehingga tidak pernah dirusak. “Sebaliknya, ketika kita menganut monoteisme, alam adalah objek yang dieksploitasi demi kemaslahatan hidup orang banyak. Monoteisme mengajarkan pada kita agar memperbaiki akhirat, namun merusak dunia,” ujarnya dalam peluncuran novel ini.

Laku kritis juga menuntut kesabaran memanggul kebenaran, agar tak jatuh menjadi ego yang mengalahkan kebaikan. Kritis untuk tidak menganggap kepercayaan orang lain hanya sekedar dongeng dan kemusyrikan penyembah berhala. Dan, sadar bahwa iman diri sendiri juga bisa menjadi takhayul bagi orang lain. Karena, kebenaran sejati masih menjadi misteri di kala depan, bukan kala sekarang. Kebenaran tak perlu dipaksakan. Ia boleh tertunda esok hari nanti, asalkan kebaikan memenuhi hari ini.

Bilangan Fu adalah bilangan metaforis, bukan matematis. Spiritual bukan rasional. Spiritual adalah kritik, bahwa pengertian kita tentang Tuhan yang satu dalam monoteisme, kadang terlalu matematis.