12 Jul 2013

Mamasi, Penghormatan ala Dayak Taman

SORE mulai bertandang. Gelap pun hampir menjelang. Setelah menempuh perjalanan selama 13 jam, kami tiba di depan Rumah Betang Bali Gundi di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Ya, perjalanan dari Pontianak, ibukota Kalimantan Barat hingga Kapuas Hulu bagai menyusuri Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia ini dari hilir hingga ke hulu.

Tetabuhan kankuang, alat musik gong dengan beragam ukuran, menyambut tetamu. Beberapa penghuni Rumah Betang, baik tua maupun muda, menari mengikuti irama tetabuhan. Mereka berdandan layaknya sebuah pesta. Mereka mengenakan baju berbahan manik-manik aneka warna. Kemeriahan warna berpadu padan dengan alunan musik tradisional Dayak. Sementara, senyum dan binar mata anak-anak mengintip dari celah-celah pagar kayu di sepanjang Rumah Betang, yang memiliki panjang sekitar 150 meter dengan 23 bilik.

Ada banyak tangga untuk mencapai lantai Rumah Betang. Namun, saat digelar upacara adat, hanya satu tangga yang boleh dipakai, yakni tangga utama atau yang biasa disebut hejot.

Malam itu, masyarakat Dayak Taman di Betang Bali Gundi ini hendak menggelar upacara adat Mamasi. Mamasi adalah upacara adat penghormatan tertinggi masyarakat Dayak Taman. Upacara penghormatan ini diberikan dari seseorang atau beberapa perempuan kepada orang yang dianggap satria, seorang tokoh yang arif dan bijaksana, seorang dermawan, atau pahlawan yang telah berjasa bagi daerah, bangsa, dan negara. Menurut masyarakat setempat, tujuan mamasi, selain memberikan penghormatan, juga memohon berkat agar keturunan yang lahir di Rumah Betang ini meneladan orang-orang yang di-amasi.

Sebelum acara mamasi digelar, tetamu disambut dengan hidangan makan malam. Makan bersama ini diadakan di lorong pintu yang menghubungkan antarbilik. Hidangan malam itu adalah daging kerbau yang dimasak dengan santan kelapa ditemani tempoyak, sambal yang dicampur dengan buah durian.

Usai santap malam, mamasi dimulai. Tiba-tiba..., dorrr..., dorrr..., dorrrr.... Tembakan lantak, bedil tradisional Dayak memecah suasana, sebagai tanda mamasi segera dimulai. Pelita-pelita temaga dinyalakan sebagai simbol syukur atas kehidupan. Tetabuhan kankuang dimulai mengiringi prosesi.

Prosesi mamasi diawali dengan mendudukan pria yang akan di-amasi di atas gong besar atau kankuang. Mereka berhadapan dengan perempuan-perempuan yang akan mamasi. Sementara, para tetua adat, baik pria maupun perempuan berada di antara mereka. Lalu, beberapa orang muda membawa dung taapan, tampi besar yang ditutup dengan kain berwarna kuning sepanjang dua meter. Tampi itu diletakkan di depan para pria yang akan di-amasi. Dung taapan ini merupakan tanda penghormatan yang harus dibawa pulang oleh mereka yang di­-amasi.

Di dalam tampi yang tertutup kain kuning itu terdapat jerat tangan atau gelang dengan biji manik-manik, indulu amas-amas atau mahkota dari daun enau dan dua bulu ekor burung Enggang, pakaian, piring dan mangkok, tampuling atau mata kail, buah kelapa, garam, serta beragam makanan dan minuman.
 
Upacara dimulai dengan mengikat jerat tangan ke tangan kanan mereka yang di-amasi dan mamasi oleh para tetua adat. Jerat tangan berupa gelang ini terbuat dari akar tumbuhan liar yang hidup merambat di bukit-bukit. Akar ini dipilih lantaran memiliki kekuatan yang lebih dibanding akar tumbuhan lain. Jerat tangan ini mengandung makna agar yang di-amasi dan mamasi memiliki umur panjang, kekuatan, kesehatan, keselamatan, serta mendapat rejeki yang berlimpah.

Setelah itu, tetua adat memasang indulu amas-amas atau mahkota kebesaran di kepala yang di-amasi dan di-mamasi. Mahkota ini terbuat dari daun enau muda. Daun enau dipilih, karena memiliki warna yang bagus, mudah dibentuk, dan awet. Mahkota ini dihiasi bulu burung Enggang, yang menurut kepercayaan masyarakat Dayak Taman merupakan burung yang suci.

Saat mahkota dipasang di kepala, bunyi kankuang mengeras. Para lelaki berteriak managkio, sementara kaum hawa memekik pajiji. Suara mereka bersahut-sahutan. Ini merupakan puncak penghormatan tertinggi.

Lalu, mereka yang di­-amasi dan mamasi minum dan saling menukarkan delapan jenis minuman khas masyarakat Dayak Taman. Minuman itu antara lain, air maram atau beram yang terbuat beras ketan dan ragi. Minuman ini merupakan minuman khas masyarakat Dayak Taman sebagai lambang kekuatan dan kebesaran.

Air arak menjadi lambang kemurnian dan kesucian hati dalam berpikir dan bertindak. Air Papa’ yang terbuat dari air tebu dicampur kulit kayu dan diolah hingga mengandung alkohol, sebagai lambang bijaksana dalam memimpin.

Air cabe yang pedas dipilih sebagai simbol kewibawaan dan keberanian memimpin. Air garam bagi masyarakat Dayak Taman menjadi simbol pengawet dan memberikan rasa. Air garam juga sebagai lambang penolakan terhadap segala sesuatu yang busuk atau tidak baik.

Sementara Air Laiya atau air jahe dipercaya sebagai lambang kekuatan dan kekerasan dalam menghadapi segala rintangan hidup. Selian itu, air jahe juga digunakan sebagai obat, sehingga air ini juga menjadi lambang penghindar dari segala kekeliruan dan kelalaian.

Air Pengasi yaitu air santan kelapa yang dicampur gula enau menjadi lambang kepemimpinan yang mengutamakan keharmonisan dan kerukunan. Dan yang terakhir, air minyak kelapa yang merupakan simbol kejujuran dalam bicara dan tindakan.

Upacara ini berlangsung cukup lama, lantaran para tetamu yang di-amasi tak terbiasa dengan delapan jenis minuman itu. Namun, semua jenis minuman itu harus dihabiskan. Pekikan terus terdengar memberi semangat. Satu per satu minuman pun habis. Sorak sorai kembali menggema keras sekali.

Ritual mamasi belum usai. Sebagai ungkapan syukur dan sukacita, semua tamu yang hadir di Rumah Betang diundang untuk “berpesta”. Mereka diminta duduk melingkar di balai-balai sepanjang Rumah Betang. Tak lama, beberapa perempuan berbalut baju manik-manik aneka warna ke luar dari sebuah bilik. Mereka membawa sebuah tas. Mereka berjalan satu per satu di belakang para tetamu yang duduk melingkar. Sembari berjalan, perempuan-perempuan ini memberikan makanan kepada para tamu. Setiap perempuan membawa satu jenis makanan. Ada sekitar sembilan jenis makanan yang dibagi-bagi dengan cepat. Dan, semua makanan itu harus segera dihabiskan oleh para tamu. Pesta ini disebut pasiap.
 
Meski malam kian larut, pesta belum berujung. Usai pasiap, mereka yang di-amasi dan mamasi wajib menari bersama. Mereka menari beriringan dari ujung Rumah Betang ke ujung yang lain, didahului oleh para tetua adat. Tetabuhan terus bertalu-talu. Tua muda, perempuan laki-laki, semua berbaur menjadi satu dalam alunan tabuhan dan tarian.

Tidak ada komentar: