14 Okt 2015

Guru Anak-Anak Kampung Laut

BARISAN hutan bakau terus mengiringi perjalanan dari Pelabuhan Sleko Cilacap, Jawa Tengah menuju Kampung Laut. Sebuah perkampungan di antara gugusan Pulau Nusakambangan, Perairan Segara Anakan Cilacap. Dengan perahu bermesin motor tempel bermuatan sekitar 20 orang atau yang sering disebut compreng, memerlukan waktu sekitar dua jam untuk mencapai perkampungan pertama.

Adalah Yustina Wartati, yang sudah lebih 30 tahun tinggal di Desa Ujung Alang, desa pertama yang disinggahi compreng dari Cilacap. Selama itu pula, ia merintis sekolah dan mengabdikan diri sebagai guru honorer di sana. Untuk mencapai rumahnya di Dusun Lempong Pucung, masih harus menyeberang menggunakan sampan dari pelabuhan kecil di Ujung Alang, lalu disambung jalan kaki sejauh setengah kilometer.

Yustina Wartati
photo: y.prayogo
Buka sekolah
Di daerah yang terkenal sebagai endemik malaria inilah Tatik merintis sekolah. “Dulu, di sini tidak ada sekolah sama sekali, anak-anak harus berjalan kaki sejauh tiga, bahkan lima kilometer dan harus menyeberang dengan sampan untuk mencapai Sekolah Dasar (SD)  terdekat,” tuturnya. Hanya ada satu SMP di tempat ini. Sementara SMA berada di Kota Cilacap.

Ia pun mulai mengumpulkan anak-anak di sekitar rumah. Rumahnya dipergunakan sebagai sekolah. Tatik mengajar anak-anak dengan sangat sederhana. Pada 1989, ia diminta Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial (YBKS) Surakarta untuk mengikuti kursus guru Taman Kanak-kanak (TK).

TK pun harus berhenti karena alasan tak ada lagi anak-anak yang berusia TK. Namun, orangtua lalu mendesak Tatik membuka SD. Tatik sempat ragu. “Saya tidak memiliki ijazah atau sertifikat mengajar,” ucapnya ragu. Tetapi masyarakat terus mendesak. Tatik segera menghubungi pihak SD yang ada, untuk dijadikan sekolah induk. Ternyata izin keluar. Mulailah ia mengajar SD.

Sebanyak 48 siswa dia didik dengan lesehan di rumahnya. Baru pada 2001, Dinas Pendidikan membangun gedung sekolah di dekat rumahnya yang hingga kini masih dipakai. SD ini hanya menampung siswa hingga kelas tiga, untuk kelas empat, anak-anak harus melanjutkan ke sekolah induk.

Saban hari Tatik harus mengajar tiga kelas sekaligus. “Tidak pernah istirahat!” ucapnya. Kelas satu dan dua diajar dalam satu ruang. Untuk membedakan kelas, mereka duduk di barisan yang berbeda. Sedang kelas tiga berada di ruang yang berbeda.

Setiap siswa hanya dibebani Rp 6.000 setiap bulan. Lima ribu untuk honor Tatik mengajar dan seribu rupiah untuk membeli peralatan kelas. Namun, Tatik tak dapat berharap banyak. Karena dalam satu bulan hanya sepuluh atau bahkan tak seorang siswa pun yang membayar. Untunglah, banyak pihak yang membantu dia.

Dari 48 siswanya, hanya 15 anak yang melanjutkan hingga lulus SD. “Banyak yang sakit malaria, dan karena alasan biaya, tidak mau melanjutkan sekolah,” ceritanya. Meskipun setiap ada anak yang sakit malaria atau alasan kekurangan biaya dan menunjukkan tanda-tanda akan keluar sekolah, Tatik mengunjunginya. “Saya selalu menandaskan, agar anak-anak harus tetap sekolah. Tidak perlu memikirkan soal biaya,” tuturnya.

Seiring perkembangan waktu, kerja keras Tatik menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pendidikan. “Kalau dulu hanya saya yang lulusan SMA, Tapi sekarang sudah banyak yang melanjutkan hingga SMA,” katanya. Sebagai penghargaan atas kerja kerasnya, masyarakat menyebut sekolah yang dirintis Tatik dengan sebutan ‘Sekolahnya Bu Tatik’.

Anak-anak Kampung Laut berangkat sekolah.
photo: tubasmedia.com

Tanpa kurikulum
Atas kerja yang tanpa lelah dalam dunia pendidikan, sejak tahun ajaran 2005-2006, setiap hari Senin hingga Rabu, Tatik dipercaya membantu mengajar di Pasuruan, sebuah dusun berjarak lima kilometer dari rumahnya. Meski jauh, Tatik tetap melakukan dengan sukacita.

Untuk mencapai Pasuruan, Tatik harus menyusuri tanggul saluran air yang merupakan jalan satu-satunya. Jika musim kemarau, ia dapat mengendarai sepeda motor bekas miliknya. Namun, sepeda motor harus beberapa kali dituntun ketika melewati jembatan bambu yang tidak memiliki penghalang di kanan kiri. Tapi jika musim penghujan datang, Tatik mesti berangkat lebih awal, pukul enam pagi. Berjalan kaki dengan sepatu boot dan jas hujan. Jalanan tanah amat licin dilalui sepeda motor.

Di Pasuruan, Tatik harus mengajar dua kelas sekaligus dengan 10 siswa. Kelas dua, dua siswa dan kelas tiga, tujuh siswa. Untuk kelas satu diajar guru lain yang tinggal di Pasuruan. Karena hanya menggunakan balai pertemuan RT, kondisi sekolah sangat memprihatinkan. Bangunan berukuran 3 x 6 meter ini hanya terbuat dari kayu. Berlantai tanah. Dinding-dinding yang terbuat dari anyaman bambu sudah ‘bolong’ di beberapa bagian. “Sebenarnya sudah tidak layak dipakai untuk sekolah, tapi bagaimana lagi, adanya hanya itu,” tutur Tatik.

Kondisi memprihatinkan tak menyurutkan semangat belajar. “Justru banyak siswa yang saya ajar dengan kondisi yang memprihatinkan, ternyata dapat berprestasi ketika mereka melanjutkan ke sekolah induk,” cerita Tatik bangga. Hal ini, menurut Tatik, dikarenakan cara mengajar yang tidak mengikuti kurikulum yang ada. “Kalau di sekolah lain yang lengkap fasilitas, kadang saya mendengar anak-anak sangat tertekan dengan kurikulum yang ada. Tapi anak-anak di sini tidak merasakan hal itu. Mereka justru sangat senang belajar,” ujar Tatik.

Tatik bersama anak didiknya.
photo: y.prayogo
Pengalaman dan kesenangan membaca, membuat cara mengajar Tatik lebih bervariasi. Ketika mengajarkan tentang IPA yang berhubungan dengan biota laut, Tatik akan membawa anak-anak ke lapangan. Mengamati hutan bakau dan hewan-hewan laut yang ada mengelilingi kehidupan mereka. Kesempatan ini, juga dipergunakan untuk mengajak anak-anak menjaga kelestarian lingkungan. Begitu juga dengan mata pelajaran yang lain. Tatik akan mengajar dengan memberikan contoh-contoh konkret yang dekat dengan dunia anak-anak. “Dengan cara seperti ini, kok saya melihat anak-anak justru lebih cepat mengerti dan paham. Berbeda jika diuraikan sesuai dengan yang ada di buku. Saya hanya ingin orang-orang di sini pintar. Karena dengan pintar, orang dapat mengatasi persoalannya sendiri dan juga masyarakat.”

1 komentar:

ladanyarboro mengatakan...

Harrah's Resort Southern California - MapYRO
Harrah's Resort Southern California in 영주 출장샵 Valley Center features a casino, a seasonal outdoor swimming pool 강릉 출장안마 and a sauna. The 충주 출장안마 hotel features 2,108 rooms and suites,  Rating: 3.2 · 동두천 출장마사지 ‎2,108 votes · ‎Price range: 상주 출장샵 $92