20 Nov 2013

Potong Pantan, Menyambut Tamu ala Dayak Taman


SEORANG bocah laki-laki meliuk-liukkan tubuhnya menari di depan rombongan. Tangan kirinya memegang sebuah perisai. Tangan kanannya mengenggam mandau, senjata tajam seperti parang khas Dayak. Bocah itu menyabetkan mandau-nya ke kanan dan ke kiri, seolah menyingkirkan segala mara bahaya di jalan yang hendak dilalui para tamu. Sementara enam penari perempuan cilik berpakaian warna-warni mengiringi di belakang. Tarian yang diiringi tetabuhan khas Dayak ini mengantar para tamu menuju pintu gerbang utama Rumah Betang Ulu Palin di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Sesampainya di depan pintu gerbang utama, para tamu belum diperbolehkan naik ke rumah panggung setinggi tujuh meter ini. Para tamu dihadang dengan batang pohon yang diletakkan melintang di pintu gerbang yang dihiasi juntai-juntai kuning daun kelapa muda. Seorang pria Dayak maju ke depan. Ia menanyakan nama dan maksud kedatangan para tamu.

Sejurus kemudian, pria itu menyerahkan sebilah mandau kepada ketua rombongan. Ia meminta sang ketua rombongan memotong batang pohon itu. Sebelum mulai memotong, pria Dayak itu menyorongkan secangkir air maram atau beram yang terbuat beras ketan dan ragi. Minuman ini merupakan minuman khas masyarakat Dayak Taman sebagai lambang kekuatan dan kebesaran. Si ketua rombongan pun menenggak air maram itu.

Setelah itu, ia mulai bekerja keras memotong batang pohon berdiameter sepuluh centimeter itu. Tetabuhan terus bertalu-talu. Beberapa orang berteriak, “Haus... haus... haus...!” Dan si pemotong kayu pun berhenti sejenak, lalu ia kembali menenggak air maram.

Tatkala batang kayu benar-benar terpotong sempurna, semua orang yang hadir berteriak dan bertepuk tangan. Semua bergembira, lantaran satu ‘rintangan’ telah berhasil dilalui. Iringan tabuhan pun kian keras. Ini menjadi puncak tradisi Potong Pantan, upacara adat Dayak Taman untuk menyambut tamu. Upacara ini digelar untuk menghilangkan segala pengaruh buruk yang mungkin dibawa sang tamu.

Namun, pesta penyambutan belum usai. Tetabuhan masih bertalu-talu mengiringi langkah menuju anak tangga untuk naik ke Rumah Betang. Saat berada di anak tangga paling akhir, beberapa pemuda telah menanti. Aroma tuak, minuman tradisional Dayak, terasa menyengat lubang hidung. Kali ini para tamu wajib minum tuak menggunakan tanduk kerbau yang telah disulap menyerupai sebuah cangkir. Bagi tamu yang tak bisa minum tuak, cukup menghirup aromanya saja.


Satu ‘rintangan’ kembali dapat dilalui. Rasa lega menyelimuti saat berada di Rumah Betang sepanjang 286 meter ini. Namun rasa itu hanya singgah sementara saja. Sebuah upacara adat kembali harus dilalui. Kali ini giliran para perempuan. Mereka telah menanti sembari menari-nari mengikuti irama tetabuhan di sebuah pintu gerbang yang terbuat dari daun muda pohon kelapa. Di gerbang itu melintang selendang berwarna-warni. Sang tamu pun wajib berjalan di bawah kain selendang itu. Saat melalui selendang itu, sang tamu disuguhi segelas Air Papa’, minuman yang terbuat dari air tebu dicampur kulit kayu dan diolah hingga mengandung alkohol. Bagi masyarakat Dayak Taman, minuman ini merupakan lambang kebijaksanaan.

Setelah semua upacara dilalui, para tamu dan penghuni Rumah Betang duduk bersama beralaskan tikar. Mereka makan dan minum bersama, seperti dalam sebuah keluarga besar. Mereka berbincang dan saling menyapa membentuk pertalian kekerabatan yang penuh kehangatan.

Tidak ada komentar: