Desa Saham nampak lenggang
di awal Desember 2010 lalu. Hanya beberapa orang yang terlihat lalu lalang. Di
desa yang terletak di Kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak, Kalimantan
Barat ini membentang sebuah rumah panggung dengan ketinggian sekitar empat
meter dan memiliki panjang 200 meter. Inilah Rumah Betang, rumah adat Dayak
Kanayan. Rumah panjang yang usianya lebih dari 300 tahun
ini telah dihuni masyarakat Dayak Kanayan selama enam generasi.
Siang itu, Albertus sedang sibuk
memahat. Di Rumah Betang inilah, Albert berkarya. Ia memahat kayu-kayu yang
disediakan alam dan menjadikannya sebuah karya seni. Meski tampak sederhana dan
jauh dari kesan seorang seniman yang populer, namun Albert bukanlah seniman
yang biasa-biasa saja. Bakatnya lahir dari alam. Mata seninya amat tajam mengangkat
nilai-nilai budaya Dayak. Tak heran, jika karyanya banyak dilirik para penikmat,
pemerhati, dan kolektor seni. Bukan hanya dari Indonesia saja, tapi para
penikmat karya Albert juga datang dari mancanegara. Para wisatawan dan pemburu
koleksi patung dan ukiran khas Dayak dari mancanegara kerap bertandang ke
rumahnya.
Alamlah yang membentuk jiwa
seninya. Alam yang telah menempa dirinya menjadi pribadi yang mampu berolah
rasa dan memaknai setiap peristiwa. Albert memang lahir sebagai pematung. Meski tak pernah mengenyam pendidikan seni secara formal, tapi darah yang mengalir di
jari-jarinya adalah darah seorang pematung. “Ini panggilan hidup saya!”
tandasnya.
Dari tangannya yang kasar, telah
lahir ratusan karya patung dan ukiran. Karyanya telah melalang buana ke berbagai
belahan dunia seperti Belanda, Bulgaria, Perancis, Italia, Belgia, dan di
kawasan Asia seperti Jepang, Korea, Cina dan Filipina.
Dan, Albert pun akan terus
berkarya memahat kayu-kayu yang disediakan alam. Karya-karyanya itu akan berumur
panjang, sepanjang usia Rumah Betang, tempat tinggalnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar