Tetabuhan kankuang, alat musik gong dengan beragam
ukuran, menyambut tetamu. Beberapa penghuni Rumah Betang, baik tua maupun muda,
menari mengikuti irama tetabuhan. Mereka berdandan layaknya sebuah pesta. Mereka
mengenakan baju berbahan manik-manik aneka warna. Kemeriahan warna berpadu
padan dengan alunan musik tradisional Dayak. Sementara, senyum dan binar mata anak-anak
mengintip dari celah-celah pagar kayu di sepanjang Rumah Betang, yang memiliki
panjang sekitar 150 meter dengan 23 bilik.
Ada
banyak tangga untuk mencapai lantai Rumah Betang. Namun, saat digelar upacara
adat, hanya satu tangga yang boleh dipakai, yakni tangga utama atau yang biasa
disebut hejot.
Sebelum acara mamasi digelar, tetamu disambut dengan
hidangan makan malam. Makan bersama ini diadakan di lorong pintu yang
menghubungkan antarbilik. Hidangan malam itu adalah daging kerbau yang dimasak
dengan santan kelapa ditemani tempoyak,
sambal yang dicampur dengan buah durian.
Usai santap malam, mamasi dimulai. Tiba-tiba..., dorrr...,
dorrr..., dorrrr.... Tembakan lantak,
bedil tradisional Dayak memecah suasana, sebagai tanda mamasi segera dimulai. Pelita-pelita temaga dinyalakan sebagai
simbol syukur atas kehidupan. Tetabuhan kankuang
dimulai mengiringi prosesi.
Prosesi mamasi diawali dengan mendudukan pria
yang akan di-amasi di atas gong besar
atau kankuang. Mereka berhadapan
dengan perempuan-perempuan yang akan mamasi.
Sementara, para tetua adat, baik pria maupun perempuan berada di antara mereka.
Lalu, beberapa orang muda membawa dung
taapan, tampi besar yang ditutup dengan kain berwarna kuning sepanjang dua
meter. Tampi itu diletakkan di depan para pria yang akan di-amasi. Dung taapan ini merupakan tanda penghormatan yang harus dibawa
pulang oleh mereka yang di-amasi.
Upacara dimulai dengan mengikat
jerat tangan ke tangan kanan mereka yang di-amasi
dan mamasi oleh para tetua adat.
Jerat tangan berupa gelang ini terbuat dari akar tumbuhan liar yang hidup
merambat di bukit-bukit. Akar ini dipilih lantaran memiliki kekuatan yang lebih
dibanding akar tumbuhan lain. Jerat tangan ini mengandung makna agar yang di-amasi dan mamasi memiliki umur panjang, kekuatan, kesehatan, keselamatan,
serta mendapat rejeki yang berlimpah.
Setelah itu, tetua adat memasang
indulu amas-amas atau mahkota
kebesaran di kepala yang di-amasi dan
di-mamasi. Mahkota ini terbuat dari
daun enau muda. Daun enau dipilih, karena memiliki warna yang bagus, mudah
dibentuk, dan awet. Mahkota ini dihiasi bulu burung Enggang, yang menurut
kepercayaan masyarakat Dayak Taman merupakan burung yang suci.
Lalu, mereka yang di-amasi dan mamasi minum dan saling menukarkan delapan jenis minuman khas masyarakat
Dayak Taman. Minuman itu antara lain, air
maram atau beram yang terbuat
beras ketan dan ragi. Minuman ini merupakan minuman khas masyarakat Dayak Taman
sebagai lambang kekuatan dan kebesaran.
Air arak menjadi lambang
kemurnian dan kesucian hati dalam berpikir dan bertindak. Air Papa’ yang terbuat dari air tebu dicampur kulit kayu dan diolah
hingga mengandung alkohol, sebagai lambang bijaksana dalam memimpin.
Air cabe yang pedas dipilih
sebagai simbol kewibawaan dan keberanian memimpin. Air garam bagi masyarakat
Dayak Taman menjadi simbol pengawet dan memberikan rasa. Air garam juga sebagai
lambang penolakan terhadap segala sesuatu yang busuk atau tidak baik.
Sementara Air Laiya atau air jahe dipercaya sebagai
lambang kekuatan dan kekerasan dalam menghadapi segala rintangan hidup. Selian
itu, air jahe juga digunakan sebagai obat, sehingga air ini juga menjadi
lambang penghindar dari segala kekeliruan dan kelalaian.
Air Pengasi yaitu air santan kelapa yang dicampur gula
enau menjadi lambang kepemimpinan yang mengutamakan keharmonisan dan kerukunan.
Dan yang terakhir, air minyak kelapa yang merupakan simbol kejujuran dalam
bicara dan tindakan.
Upacara ini berlangsung
cukup lama, lantaran para tetamu yang di-amasi
tak terbiasa dengan delapan jenis minuman itu. Namun, semua jenis minuman itu
harus dihabiskan. Pekikan terus terdengar memberi semangat. Satu per satu
minuman pun habis. Sorak sorai kembali menggema keras sekali.
Meski malam kian larut, pesta belum berujung. Usai pasiap, mereka yang di-amasi dan mamasi wajib menari bersama. Mereka menari beriringan dari ujung Rumah Betang ke ujung yang lain, didahului oleh para tetua adat. Tetabuhan terus bertalu-talu. Tua muda, perempuan laki-laki, semua berbaur menjadi satu dalam alunan tabuhan dan tarian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar