16 Okt 2008

Memberikan Kasih, Kebencian dan Gairah

Judul Buku : Jerusalem; Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir
Pengarang : Trias Kuncahyono
Penerbit : Kompas Gramedia, Jakarta 2008
Tebal : 315 halaman

“TAK ada tempat di bumi ini yang dapat memberikan kasih, kebencian, dan gairah sekaligus selain Jerusalem.” Demikianlah kalimat perdana yang ditorehkan salah satu Wakil Pemimpin Redaksi Kompas, Trias Kuncahyono dalam buku berjudul Jerusalem, Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir. Jerusalem, yang dilukiskan sebagai pusar dunia hingga detik ini. Jerusalem selalu menjadi pusat perhatian dunia. Bahkan, Jerusalem menjadi episentrum berbagai persoalan dunia yang tidak kunjung selesai.

Trias menulis buku ini dengan pendekatan jurnalistik. Pria kelahiran Yogyakarta, 11 Juni 1958 ini berhasil menikahkan teknik reportase dengan studi pustaka yang mendalam. Sebanyak 29 buku, 21 artikel surat kabar, 12 tulisan dalam jurnal berkala dan 29 naskah dari internet, mendukung penulisan buku ini. Dukungan referensi ini menjalin sejarah kehidupan umat beragama.

Tiga agama
Ini merupakan buku Trias yang kelima. Sebelumnya ia menulis Dari Damascus ke Baghdad, Bulan Sabit di Atas Baghdad, Irak Korban Ambisi Kaum Hawkish dan Paus Yohanes II, Musafir dari Polandia. Dalam buku Jerusalem, Trias melukiskan keunikan Jerusalem. Jerusalem bukan hanya warisan sejarah yang panjang. Namun, juga menyimpan nilai-nilai spiritual. Tiga agama besar dunia, yaitu Yudaisme, Kristen, dan Islam, disatukan dalam suasana kecintaan terhadap Jerusalem. Meski, ketiganya berbeda dalam konsep fundamental tentang Tuhan. Salah satu penulis Kata Pengatar Zuhairi Misrawi, melukiskan. ‘Di jalan menuju Masjid Al Aqsha, dari atas terlihat rombongan umat Yahudi beribadah di Tembok Ratapan. Tak jauh dari tempat itu, orang-orang Kristiani memenuhi Gereja Makam Kristus atau yang biasa disebut sebagai Makam Suci’. Demikianlah Jerusalem, menjadi tempat bagi tiga agama besar hidup.

Menyitir buku Jerusalem; The Three Religions of the Temple Mount, Leah Sullivan menceritakan bahwa, kaum Yahudi, Kristen, dan Islam memandang Jerusalem sebagai ‘pintu ke surga’. Jerusalem dipercaya sebagai titik pertemuan antara surga dan bumi. Maka, tak heran jika Jerusalem dikuduskan agama, tradisi, sejarah dan teologi. Jerusalem menjadi kota yang dipuja-puji umat Yahudi, Kristen, dan Islam.

Orang Yahudi percaya, Jerusalem adalah satu-satunya kota suci di dunia. Kota pilihan Tuhan sebagai ‘tempat kediaman nama-Ku’, sebagaimana tertulis dalam Kitab Tawarikh. Bagi umat Kristen, Jerusalem adalah kota suci yang penting. Ki kota inilah Yesus hidup, berkarya, wafat, dan bangkit. Dari Jerusalem mengalir ajaran cinta kasih kepada sesama umat manusia disebarkan oleh Yesus. Sementara, bagi umat Muslim, Jerusalem adalah tempat Nabi Muhammad SAW melakukan perjalanan dari Mekah ke Jerusalem, Isra Mikraj ke Sidrat Al Muntaha. Perjalanan malam Nabi itu memperkuat hubungan antara Mekah dan Jerusalem sebagai kota suci.

Konflik
Jerusalem pernah menjadi pusat perdamaian dunia. Namun, 30 tahun terakhir, kota bertubi-tubi dihancurkan. Sudah 20 kali pula kota ini dibangun. Di kota ini, dua bangsa, Israel dan Pelestina serta tiga agama hidup. Berabad-abad mereka hidup dalam damai. Karena, hidup berdampingan secara damai bukanlah impian.

Pada medio 1967, pertumpahan darah menjadi pemicu baru perselisihan politik. Pertikaian yang menyulut api benci dengki antarsesama, antarsaudara. Sungguh, suatu bencana, Jerusalem hingga hari ini, masih menjadi simbol konflik yang mengancam seluruh dunia.

Buku ini memberi pesan mendalam. Di Jerusalem, Tuhan menciptakan pluralitas. Buku ini seperti membuka mata dan menyadarkan diri, bahwa manusia memiliki kiblat yang sama, Abraham yang sama, Tuhan yang sama. Di Jerusalem, Tuhan ada dalam pluralitas dan multikuturalitas. Di kota ini, Tuhan telah menyemaikan benih-benih kasih sayang, persaudaraan dan perdamaian antarpemeluk agama. Dalam bahasa Ibrani, Jerusalem berarti warisan perdamaian. Yerusha berarti warisan dan shalom berarti damai!

Menemukan Tuhan dalam Wajah Korban

Judul : Kesucian Politik; Agama dan Politik di Tengah Krisis Kemanusiaan
Penulis : Patrisius Mutiara Andalas SJ
Penerbit : Libri Jakarta, 2008
Tebal : 254 halaman


Tragedi Mei 1998 meninggalkan tubuh korban yang rusak. Wajah beberapa korban hampir tak dikenali lagi. Tragedi itu meninggalkan luka dan penderitaan. Peristiwa yang memberikan jejak pelucutan atas kemanusiaan. Melihat kondisi korban yang mengerikan itu, mengingatkan kita pada sosok Pontius Pilatus saat mempertontonkan Yesus sebelum mengundinya dengan Barabas di hadapan massa. “Pandanglah manusia yang rusak itu!” ucapnya.

Menolak lupa
Mei 1998 adalah sejarah berdarah yang seharusnya selalu dikenang rakyat Indonesia. Kecuali, mereka yang dengan sengaja menutupi dan melupakan. Mei 1998 menjadi titik balik politik Indonesia, setelah dibisukan rezim otoriter, yang pecah dalam perlawanan mengusung bendera reformasi. Kebisuan berhasil dipecahkan. Reformasi 1998 pun menagih nyawa sebagai biaya politik. Ribuan nyawa hilang dalam kesewenang-wenangan amuk massa. Ribuan perempuan, terutama etnis Tionghoa dirobek batin dan tubuhnya oleh kebengisan massal. Orangtua harus merelakan anak-anaknya menjadi jasad yang tak dikenali.

Penulis buku ini, mencoba menghimpun kembali daya yang masih tersisa dalam perjuangan melawan politik lupa. Pastor Patrisius Mutiara Andalas SJ pernah mendampingi Paguyuban Keluarga Korban Mei Semanggi. Paguyuban ini terus setia pada panggilan nurani kemanusiaan. Mereka berjuang bagi orang-orang yang mereka cintai. Mereka terus melawan pelupaan pada korban sejarah perubahan bangsa ini. Bukan untuk menggulingkan kekuasaan, namun untuk mengingatkan, bahwa martabat kemanusiaan pernah dilecehkan di negeri ini.

Merangkul korban
Kesewenangan kekuasaan tidak hanya terjadi di Indonesia. Itu adalah sejarah kelam bangsa-bangsa di dunia. Penulis merajut kisah-kisah korban dalam suatu dialog imajiner. Kisah-kisah itu membawa pembaca pada satu kesadaran, bahwa kita pernah dan hampir melupakan suara-suara korban itu. Melalui kisah-kisah pergumulan kemanusiaan yang terentang dari para ibu Plaza de Mayo, Rigoberta Menchu, Aung San Suu Kyi, Elie Wiesel, Hannah Arendt, Jon Sobrino, serta keluarga korban tragedi kemanusiaan di Indonesia, penulis mengajak pembaca untuk mendekati tragedi kemanusiaan dari perspektif iman.

Elie Wiesel, seorang korban hidup tragedi Holocaust, menolak berbicara mengenai Tuhan saat mendiskusikan tragedi kemanusiaan Holocaust. Wiesel khawatir, komunitas agama akan memberi kiat, agar para korban melarikan diri pada Tuhan dan melupakan semua. Namun, Wiesel mengundang komunitas agama sebagai saksi kemanusiaan, agar ikut menghentikan atau menahan laju pelupaan pada korban.

Sementara, Jon Sobrino mengusulkan, agar bela rasa menjadi paradigma baru bagi komunitas agama di tengah krisis kemanusiaan. Bela rasa muncul dari rahim perjumpaan dengan penderitaan korban. Agama membuka diri untuk disentuh korban. Perjumpaan dengan korban menumbuhkan persaudaraan dan mendorong komunitas agama menjadi pelaku dalam membangun dunia yang lebih humanis.

Tragedi kemanusiaan mengundang komunitas agama keluar dari altar menuju pelataran. Menjumpai Tuhan dalam diri korban. Tuhan kehidupan yang memanggul penderitaan korban. Seperti teks Kitab Suci yang mengundang komunitas beriman agar berani memanggul salib bersama Yesus yang juga telah menjadi korban.

Namun, komunitas agama sering kali mencerabut persoalan ini dari wilayah agama, karena menganggap sebagai aktivitas politik. Kecerobohan komunitas agama ini berakibat fatal terhadap kemanusiaan korban. Komunitas agama perlu kembali kepada habitat sosialnya, yakni menjadi pelaku politik. Komunitas agama perlu merangkul korban dan mendampingi perjuangan kemanusiaan mereka, untuk mengetuk nurani bangsa Indonesia.

Tragedi Mei 1998 telah berlalu sepuluh tahun lalu. Paguyuban keluarga korban masih terus berjuang demi keadilan dan humanisasi di Indonesia. Tragedi Mei 1998 seharusnya membangunkan kesadaran komunitas agama, bahwa negara dapat berubah perilakunya. Dari pengayom dan pelindung warga, menjadi pelaku pembiaran, kekerasan, dan diskriminasi. Stigma negara terhadap korban, telah menghancurkan jembatan solidaritas dengan korban.