Penenun kain khas Dayak di Sentra Kerajinan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Photo: y.prayogo |
DUA perempuan duduk melantai. Kakinya selonjoran di lantai kayu itu. Sekali-sekali kedua tangannya dihentak-hentakkan ke arah pinggang. Utas-utas benang warna-warni perlahan membentuk kain. Ya, dua perempuan itu sedang menenun kain ikat dengan motif khas suku Dayak.
Siang baru saja beranjak dari pagi. Matahari semakin terik. Sentra Kerajinan Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, yang berbentuk Rumah Betang atau rumah panjang, nampak sepi. Rumah Betang ini terletak di bagian utara Putussibau, ibukota Kapuas Hulu. Perlu 24 jam untuk mencapai tempat ini dengan perjalanan darat dari Pontianak, ibukota Kalimantan Barat.
Di Rumah Betang ini terlihat beberapa perempuan yang sedang tekun menenun. Mereka merajut benang-benang aneka warna menjadi selembar kain. Beberapa pria sedang memahat kayu membentuk patung. Showroom kerajinan yang menempati satu ruangan, juga terlihat sepi. Kain tenun khas Dayak mendominasi showroom ini.
Penenun kain khas Dayak di Sentra Kerajinan Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Photo: y.prayogo |
Pembuatan kain tenun khas Dayak masih mempertahankan warisan leluhur. Mulai dari pemintalan benang, pewarnaan, sampai proses menenun, masih menggunakan cara-cara tradisional. Terdapat empat macam warna utama dalam kain ikat khas Dayak, yaitu merah, hitam, kuning, dan putih. Pewarna benang memanfaatkan alam sekitar. Warna merah didapat dari daun mengkudu atau kulit kayu salam. Warna hitam diperoleh dari daun renggat. Sementara warna kuning berasal dari kunyit dan temulawak.
Seperti kain tenun di daerah lain, perlu waktu yang panjang untuk menenun satu lembar kain. Satu bulan, waktu yang cukup untuk menghasilkan satu lembar kain tenun khas Dayak.
Mari melanjutkan perjalanan semakin dalam, melacak para penenun kain khas Dayak!
Kain tenun Dayak. photo: y.prayogo |
Kali ini perjalanan diarahkan menuju Rumah Betang Bali Gundi. Siang itu, di rumah panjang ini juga ditemui beberapa perempuan sedang menenun. Pada masa lalu, menenun adalah syarat bagi perempuan Dayak yang telah mencapai akil balik. Menenun menjadi penanda kedewasaan seorang perempuan. Nilai-nilai di balik kain tenun Dayak itu kian lama kian pudar. Kini, tidak semua kaum hawa di tempat ini piawai menenun. Di Betang Bali Gundi, rata-rata penenun telah berusia lanjut.
Situasi serupa terlihat ketika menginjakkan kaki di Rumah Betang Sungai Uluk Palin. Perempuan-perempuan tua nampak selonjoran menenun utas-utas benang. Sayang, beberapa waktu lalu, rumah panggung setinggi delapan meter dengan panjang 500 meter telah terbakar habis. Tentu, kekayaan kain tenun di tempat ini turut musnah dilahap si jago merah.
Kain-kain tenun Dayak di Rumah Betang Sungai Utik. photo: y.prayogo |
Perjalanan dilanjutkan ke Rumah Betang Sungai Utik. Ketika memasuki rumah panjang ini lembaran-lembaran kain tenun motif khas Dayak tersampir di sudut-sudut Rumah Betang. Kain-kain ini langsung menyergap mata. Tapi situasi serupa pun terlihat. Di sini, para penenun telah berusia lanjut. Perempuan-perempuan muda tak lagi pandai menenun.
Penari mengenakan kain tenun khas Dayak. Photo: y.prayogo |
Utas-utas benang aneka warna akan terus ditenun di rumah-rumah betang. Kain-kain ini tidak lagi menjadi penanda kedewasaan seorang perempuan. Ia akan menjadi penanda peradaban para penenunnya. Meski para penenun kian menua, tapi warisan kain tenun khas Dayak akan terus hidup. Kain tenun Dayak akan tetap hidup panjang, sepanjang rumah-rumah betang, tempat tinggal mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar