Judul : Bilangan Fu
Penulis : Ayu Utami
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Jakarta, 2008
Tebal : x + 537 halaman
SANDI Yuda, Parang Jati, dan Marja berkelindan dalam kisah segitiga eros yang lembut. Yuda, seorang pemanjat tebing dan petaruh yang kerap melecehkan nilai-nilai yang diyakini masyarakat. Parang Jati, bagai malaikat yang berjari dua belas, yang dibentuk ayah angkatnya agar menanggung seluruh duka manusia. Marja, gadis yang memiliki tubuh bak kuda teji dan berjiwa matahari. Bertiga memanjat tebing di pegunungan kapur dekat Desa Sewugunung, di kawasan pantai selatan Jawa.
Sewugunung gempar. Satu penduduk desa mati. Jenazahnya hilang dari makam. Warga Sewugunung yakin, ia memiliki kesaktian. Tapi yang lain menganggap ia musyrik, sehingga mayatnya ditolak bumi. Perseteruan antara yang yakin diri “gaib” dengan yang yakin diri “kudus” kian seru dengan masuknya wajah kapitalisme dalam bentuk perusahaan tambang. Deru mesin telah siap sedia menggerus gundukan-gundukan kapur. Sandi Yuda, Parang Jati, dan Marja juga tercebur dalam pusaran itu.
Ketika sedang berayun-ayun di sebuah tebing, Sandi Yuda seperti memperoleh “wangsit” tentang bilangan fu. Fu bilangan tak berwujud. Fu bukan satu atau nol atau yang lain. Yuda terobsesi memecahkan rumus yang diciptakan sendiri itu. Rumus fu memang bukan logika matematika. Fu sebuah pencarian.
Pencarian fu, menurut penulis novel ini, Ayu Utami, merupakan pencarian spiritual. Pencarian yang menuntun Sandi Yuda bertemu dengan Parang Jati, mahasiswa geologi Institut Teknologi Bandung.
Parang Jati memiliki adik bernama Kupukupu. Lantaran kemelaratan akut, Kupukupu menjelma menjadi penganut agama yang radikal, yang menegakan keyakinan agama dengan pedang; yang mengucapkan “Tuhan” dengan berteriak-teriak. Ia menganggap upacara sesaji dan kepercayaan kepada Nyi Roro Kidul bagian dari musyrik. Parang Jati beda. Ia mendukung sesajen, takhayul, dan berbagai mitos yang diyakini orang-orang desa.
Cara beriman Kupukupu memicu kekacauan dan kekerasan di Sewugunung. Ia menghimpun pasukan berjubah dan menghardik para penyekutu Tuhan. Ia juga berselingkuh dengan perusahaan tambang yang akan merobohkan Watugunung. Ia memancing kehadiran pasukan ninja yang membunuh kiai dengan isu dukun santet.
Itulah sengkarut dalam novel yang mengambil latar waktu 1998-2001. Lewat bentrokan antara tokoh dan kisah, alumni Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini menyusupkan kritik terhadap cara beragama atau berkeyakinan.
3M
Silang sengkarut di Sewugunung menghentak pemikiran modern dan cara beriman monoteisme. Pemikiran yang terlampau mengagungkan rasio, sampai-sampai meremehtemehkan nilai-nilai tradisi yang ramah pada alam. Pemikiran dan keyakinan yang merasa diri “paling kudus”, membuat abai terhadap keberadaan sesama.
Novel yang menyabet Khatulistiwa Literary Award 2008 ini menyinggung tentang 3M yang menyebabkan “kehancuran” manusia, yaitu monoteisme, modernisme, dan militerisme. Agama-agama monoteisme, dalam praktik cara berimannya kadang masih menganggap rendah agama-agama lokal sebagai penyembah berhala. Dengan memberikan label “sesat”, musyrik, dan yang lain, penganut keyakinan lokal halal untuk diusir, disakiti, bahkan dienyahkan. Padahal agama-agama lokal tumbuh dan berbuah di tengah lokalitas yang amat arif terhadap alam sekitar.
Bilangan Fu merupakan novel yang ditulis Ayu Utami dengan latar belakang meningkatnya kekerasan atas nama agama pada awal masa Reformasi. “Saya persembahkan ‘untuk Indonesia, yang dengan sedih aku cinta’,” tulis putri Bernadetta Suhartinah ini di laman milik pribadi.
Militerisme musuh demokrasi. Kisah Bilangan Fu mengambil latar di era awal gelombang reformasi yang menghantam rezim Orde Baru. Dan Orde Baru kaya akan aneka bentuk militerisme yang masih terus terwariskan hingga masa kekinian.
M yang ketiga adalah modernitas yang dipelihara dengan kemanjaan-kemanjaan kapitalisme. Segala dipandang dalam kacamata matematika ekonomis, termasuk cara menghidupi keyakinan.
Ketiga M ini kadang nampak berjalan sendiri-sendiri. Namun, kerapkali berjalan beriringan membentuk barisan yang padu, yang abai terhadap sesama, yang abai terhadap alam ciptaan-Nya.
Landung Simatupang dalam peluncuran Bilangan Fu (foto:y.prayogo) |
Penulis novel Saman (1998) ini, dengan sangat kental meniupkan nafas spritualisme kritis pada Bilangan Fu. Ia mengangkat wacana spritual-keagamaan, kebatinan, dan mistik. Ayu Utami sepertinya ingin membedakan agama dan spiritual. Agama formal tak lebih dari seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan kepada pengikutnya. Agama formal bersifat top-down, diwarisi dari rasul, pendeta, nabi, dan kitab suci atau ditanamkan melalui keluarga atau tradisi.
Bilangan Fu memberi tawaran cara beragama yang baru, yakni dengan laku kritis. Tapi kritis yang tidak membabi buta. Ia juga sama sekali tidak anti, apalagi membenci. Kritis terhadap ajaran-ajaran agama, mampu melihat nilai-nilai luhur pada agama asli dan kritis pada agama sendiri agar tak terperosok pada kesombongan dan monopoli kebenaran.
Laku kritis memberi kesadaran agar tak hanya memandang ke langit dan hidup demi surga. Karena manusia hari ini -dan kelak anak keturunannya- masih tinggal di bumi yang sama. Salah satu keutamaan nilai-nilai keyakinan lokal adalah memelihara alam lingkungan, demi kelangsungan hidup bumi dan anak-anak generasi nanti. Agama-agama nenek moyang meyakini bahwa ada penunggu dalam pepohonan, ada penjaga gaib di gunung-gunung, ada penguasa di dasar samudera. Hal ini perlu dilihat secara kritis, bahwa ada nilai kebijaksanaan agar berhati-hati mengolah alam dan senantiasa menjaga kelestarian dan keseimbangan.
Dosen Universitas Paramadina Jakarta, Luthfi Assyaukanie mengatakan, ide Ayu Utami sederhana, yakni animisme itu lebih ramah, menganggap alam sebagai subjek yang dipuja sehingga tidak pernah dirusak. “Sebaliknya, ketika kita menganut monoteisme, alam adalah objek yang dieksploitasi demi kemaslahatan hidup orang banyak. Monoteisme mengajarkan pada kita agar memperbaiki akhirat, namun merusak dunia,” ujarnya dalam peluncuran Bilangan Fu satu dasawarsa lalu.
Pencarian Bilangan Fu tak pernah berhenti atau berlalu begitu saja. Ayu Utami terus mencari dengan Simple Miracles (2014), Banal Aesthetics & Critical Spiritualism (bersama Erik Prasetya) (2015), dan Menulis dan Berpikir Kreatif Cara Spiritualisme Kritis (2015 & 2017).
Pencarian dengan laku kritis menuntut kesabaran memanggul kebenaran, agar tak jatuh menjadi ego yang mengalahkan kebaikan. Kritis untuk tidak menganggap kepercayaan orang lain hanya sekadar dongeng dan kemusyrikan penyembah berhala. Dan sadar bahwa iman diri sendiri juga bisa menjadi takhayul bagi orang lain. Karena kebenaran sejati masih menjadi misteri di kala depan, bukan kala sekarang. Kebenaran tak perlu dipaksakan. Ia boleh tertunda esok hari nanti, asalkan kebaikan memenuhi hari ini.
Bilangan Fu, bilangan metaforis, bukan matematis. Spiritual memang bukan rasional. Bilangan Fu merupakan sebuah pencarian yang tak kunjung berujung, bagai mendaki seribu gunung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar