Moqsith -sapaannya- lahir dari keluarga santri dan tumbuh di lingkungan pesantren. Kondisi pesantren membatasi ruang pergaulan pria kelahiran Situbondo, Jawa Timur, 7 Juni 1971 ini. “Perjumpaan dengan umat agama lain sangat minim,” protesnya kala itu. Saban hari, ia membaca Alquran dan buku-buku yang hanya berbicara tentang keislaman. Moqsith juga membaca beberapa buku yang bicara pertentangan antara Islam dan Kristen. Dari situ, ia mulai tertarik membaca Alkitab. “Apa sih sebenarnya isi Alkitab itu?” pikirnya saat itu.
Keprihatinan berkait dengan pertentangan agama makin merayap dalam pikirnya. Apalagi, ketika menjumpai pandangan-pandangan para ulama yang keliru tentang pluralisme. Pertama, ada pandangan yang berkata, bahwa pluralisme itu mau menyamakan semua agama. Kedua, pluralisme itu tidak mengakui agama-agama. Dua hal ini, membuat Moqsith berniat meraba dan menelisik lebih jauh bagaimana Alquran berbicara tentang umat agama lain. Pemikiranannya makin terbuka, ketika ia belajar di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta dan Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.
Piagam Madina
Dalam disertasinya, Moqsith mengangkat pluralisme. Ia memberi judul disertasinya Pluralisme dalam Alquran; Sebuah Studi tentang Pluralisme dan non-Pluralisme. Ketika meneliti, ia menemukan beberapa ayat dalam Al-Quran yang sangat menghormati umat agama lain, namun ada pula yang sebaliknya. “Kritik dan apriori umat Islam pada agama lain, lebih karena persoalan politik dan ekonomi,” tegas dosen di Universitas Paramadina Jakarta dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Piagam Madina
Dalam disertasinya, Moqsith mengangkat pluralisme. Ia memberi judul disertasinya Pluralisme dalam Alquran; Sebuah Studi tentang Pluralisme dan non-Pluralisme. Ketika meneliti, ia menemukan beberapa ayat dalam Al-Quran yang sangat menghormati umat agama lain, namun ada pula yang sebaliknya. “Kritik dan apriori umat Islam pada agama lain, lebih karena persoalan politik dan ekonomi,” tegas dosen di Universitas Paramadina Jakarta dan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini.
Ia mencontohkan, saat Nabi Muhammad dan orang-orang Yahudi serta beberapa kelompok agama lain membuat Piagam Madina. Piagam ini berisi konsensus politik yang tak ada hubungannya dengan Alquran. Namun, orang Yahudi melanggar konsensus tersebut, maka timbul ketegangan. Ketegangan antara Islam dan Yahudi ini, bukan masalah teologis, tapi murni masalah politik dan ekonomi. Orang Yahudi sebagai putra daerah merasa tersaingi oleh kedatangan orang Islam dari Mekah.
Maka, menurut Moqsith, turunlah beberapa ayat dalam Alquran guna menyikapi kondisi itu. Ayat-ayat tersebut menganjurkan agar umat Islam melakukan perlawanan atas serangan orang Yahudi. “Jadi, memang ada ayat-ayat Alquran, yang jika dilucuti dari konteksnya, seakan menganjurkan penggunaan kekerasan. Padahal, ayat-ayat itu turun dalam kondisi darurat perang,” papar ayah dua anak ini. Moqsith menyebut ayat-ayat tersebut sebagai ayat partikular, karena ada ayat-ayat universal yang justru memberi penghormatan pada agama lain.
Islam dan Kristen
Ketegangan hubungan antaragama di Indonesia, menurut Moqsith, sering terjadi antara Islam dan Kristen. Ketegangan itu juga berakar pada persoalan politik dan ekonomi. Ia memaparkan, bahwa kekristenan masuk ke Indonesia bersama dengan kolonial Belanda. Saat itu, pemerintahan kolonial Belanda sering melakukan tindak diskriminasi terhadap umat Islam. Misal, sekolah-sekolah Kristen mendapat lebih banyak subsidi dari pada sekolah Islam.
Maka, saat itu, memusuhi Kristen bersamaan dengan memusuhi kolonial Belanda. “Mungkin akan lain cerita, jika kekristenan hadir di Indonesia tidak bersamaan dengan kedatangan kolonial Belanda,” paparnya. Pengalaman ini, menurut Moqsith masih menempel kuat dalam memori kolektif sebagian umat Islam di Indonesia. Kekristenan identik dengan kolonial.
Ia juga melihat, bahwa kedua agama ini, Islam dan Kristen memiliki keinginan yang sama, yakni menyebarkan agama. Di Islam ada konsep dakwah, sementara di Kristen ada konsep misi. “Kedua konsep tersebut kan untuk menyebarkan agama masing-masing. Ini juga menjadi salah satu tantangan dalam membangun proses dialog antar kedua agama ini,” katanya.
Padahal, saat belajar kristologi di STF Driyarkara, ia menemukan adanya keberlanjutan ajaran dari Kristen ke Islam. Mulai Perjanjian Lama, Perjanjian Baru hingga ajaran-ajaran yang dibawa Nabi Muhammad. Misal, dalam kekristenan terdapat konsep puasa, begitu pula dalam Islam. Atau contoh lain, bahwa kedua ajaran agama ini memiliki semangat untuk berpihak pada mereka yang lemah, miskin dan tertindas. “Hanya mekanisme teknis pelaksanaannya saja yang berbeda,” tandasnya.
Ia melanjutkan, bahwa kelahiran agama dari rumpun Abrahamik adalah agama sebagai bentuk perlawanan terhadap kelompok-kelompok yang kuat secara ekonomi dan politik. “Yesus, Musa dan Nabi Muhammad kan lahir bukan dari kalangan orang kaya atau bangsawan. Mereka hadir sebagai bentuk perlawanan dari kelompok yang tertindas dan miskin,” tambahnya.
Inilah tantangan bagi gerakan pluralisme di Indonesia. Yakni, agar pluralitas dipandang sebagai sebuah fakta dan persamaan prinsip ajaran dapat mewujud dalam kerja-kerja nyata. “Saya juga berharap agar umat Kristiani lebih mengambil peran dalam kerja nyata ini di tengah dinamika kemasyarakatan dan kebangsaan,” harapnya.
Tantangan pluralisme
Melihat tantangan ini, Moqsith tetap optimis dengan masa depan pluralisme di Indonesia. “Karena pluralisme adalah dasar pemersatu bangsa Indonesia. Kalau pluralisme di Indonesia gagal, maka bangsa ini akan rontok dan selesai,” tegasnya. Menyikapi maraknya kelompok-kelompok fundamentalisme agama, Moqsith mengatakan, bahwa ini adalah akibat kelemahan negara dalam menegakan hukum. “Kelompok ini memang akan tumbuh dan menjamur ketika negara masih pada masa trasisi menuju demokrasi. Tapi, jika demokrasi telah terwujud, saya yakin, kelompok ini akan mati,” imbuhnya.
Maka, ia mengusulkan agar para pegiat pluralisme di Indonesia masuk ke tiga ranah, yakni kultural, pendidikan dan politik. Karena saat ini, masyarakat lebih cenderung menjadi eksklusif. Orang bergaul hanya dengan sesama yang seagama saja. Hal ini ditandai dengan kemunculan perumahan-perumahan yang khusus untuk umat agama tertentu. “Ada perumahan Islam. Dan lebih parah lagi, tidak mau menerima umat dari agama lain,” jelasnya. Dalam dunia pendidikan, Moqsith memandang, baik madrasah, pesatren atau seminari masih mengajarkan beberapa pelajaran yang isinya diskriminatif terhadap agama lain. Sementara dalam politik, muncul aturan-aturan atau Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif.
Menurut Moqsith, ketiga hal itu menjadi tantangan pokok gerakan pluralisme di Indonesia. Maka, perlu ada kerja-kerja lintas sektoral. Dalam pendidikan, perlu mengubah kurikulum agar lebih toleran pada agama lain. Pada ranah kultural, harus ada mekanisme kebudayaan yang bisa memerangi ketegangan antar umat beragama. “Dan, perlu masuk ke dunia perpolitikan, untuk andil dalam merumuskan aturan-aturan yang mengedepankan pluralisme dan toleransi dengan umat agama lain,” pungkasnya bersamaan dengan bedug tanda buka puasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar