Anak-anak yang sedari tadi bermain di halaman rumahku, telah pulang satu-per satu. Pintu-pintu rumah telah ditutup rapat. Sampan-sampan pun mulai berdayung pulang menembus rimbunan bakau. Senja mulai gelap. Sepi pun menderap. Purnama masih saja malu-malu menampakan kepenuhan.
Kumandang adzan memecahkan kesunyian. Beriringan dengan madah pujian binatang malam. Beberapa orang melintas menuju surau. Sedang yang lain masih bertahan di sebuah gardu ronda di seberang jalan. Mengadu nasib di atas kartu-kartu peruntungan. Dewi Purnama sedikit demi sedikit mulai menampakan diri, memamerkan kecantikan.
Aku masih duduk di kursi kayu di beranda rumah. Sekali-sekali kepalaku mengangguk pada orang yang melintas di depan rumah. Melempar senyum seperti biasa. Senyum yang sudah kuhapal. Sudah beberapa minggu ini, aku lebih suka sendiri, bergelut dengan sepi, berselimut sunyi.
Anganku pun melayang pada kenangan yang selalu membuat rindu. Saat-saat penuh cinta. Penuh kebahagiaan. Meski harus dilalui dengan berkeringat, beradu mulut, bersunggut-sunggut dan berair mata. Sudah hampir dua puluh tahun aku tinggal di sini. Di sebuah desa yang jauh dari keramaian. Tak ada suara bising mobil, tak ada listrik, tak ada super market, tak ada sinyal telepon seluler. Jauh dari hiruk-pikuk dan simpang siur berita. Apalagi gosip para selebritis, tak terdengar sama sekali. Untuk mencapai tempat ini saja, harus naik perahu motor selama dua jam dari pelabuhan kota. Menyusuri laut, menembus jajaran hutan bakau.
Tak pernah terbayang, aku akan tinggal di daerah seperti ini. Hidup di antara rawa-rawa, berdekatan dengan pulau tempat pembuangan narapidana kelas kakap. Hidup di antara para nelayan. Hidup di daerah endemik malaria. Sungguh tak pernah terbayangkan!
Namun, selepas SMA, aku dipinang Yakobus, kakak kelasku. Harapanku untuk bekerja di Jakarta pun pupus. Karena aku harus mengikuti suamiku yang bekerja sebagai penyuluh pertanian di desa ini. Bagaimana pun aku harus ikut. Aku telah berjanji di hadapan Tuhan untuk selalu setia sehidup semati dengannya. “Yang telah disatukan Tuhan, tak boleh diceraikan manusia!” ucapku bersama Yakobus saat kami menikah.
Dua tahun menikah, aku dikarunia bayi perempuan. Wulan, namanya. Bayi perempuan mungil. Lima tahun kemudian, lahirlah Purnama. Lengkap sudah kebahagiaanku. Pun dengan Yakobus. Setiap hari, ketika akan berangkat kerja, ia selalu mengecup kening dan pipiku terlebih dahulu. Demikian pula ketika pulang. Wajahnya selalu ceria. Aku pun semakin sayang padanya.
Belum lama aku mencecap kebahagiaan itu, tiba-tiba, pada suatu sore, Yakobus pulang dengan wajah yang tak ceria. Ia dipecat, karena terlibat penggelapan uang proyek penghijauan dari pemerintah. Kebahagiaanku pun terancam.
Sejak saat itu, Yakobus berubah. Ia mulai berjudi. Mabuk-mabukan. Jarang pulang ke rumah. Sering marah-marah. Aku pun jadi sasaran kemarahannya. Pipiku yang dulu sering dikecupnya, kini jadi sasaran tangannya. Aku tak dapat melawan. Aku tetap sayang padanya.
Hingga pada suatu malam, selepas kami bercinta, ia mengungkapkan keinginannya. “Anna, aku tak dapat lagi hidup di sini. Aku harus pergi. Aku akan mencari pekerjaan. Mungkin ke Sumatera. Kamu boleh ikut, tapi boleh juga tidak!” ucapnya sedikit parau. Wajahnya masih berkeringat.
“Tapi anak-anak masih kecil, Mas! Tidak mungkin membawa mereka pergi jauh,” sergahku.
“Aku tak kuat lagi. Setiap hari orang-orang selalu membicarakan kejelekanku!” bela Yakobus. “Kamu tinggal di sini saja. Nanti, kalau aku sudah bekerja, aku akan mengirimimu uang setiap bulan,” lanjutnya sebelum terlelap. Keesokan paginya, dengan sangat berat hati aku melepaskan kepergiaan suamiku. “Hati-hati!” Hanya itu yang dapat aku ucapkan padanya.
Satu tahun berlalu. Aku rindu suamiku. Namun, tak ada kabar dari suamiku. Sepucuk surat pun tidak. Apalagi uang, seperti yang dijanjikannya. Aku mulai gelisah. Gundah makin menjarah. Uang persediaan sudah menipis. Sementara kebutuhan terus bertambah.
Hingga suatu hari datang kabar dari Karjo, teman suamiku yang juga bekerja di Sumatera. “Mbak, aku disuruh Mas Yakob untuk menyampaikan kabar. Ia sekarang sudah bekerja, tapi belum dapat mengirimi uang. Gajinya masih kecil. Dan…”. Karjo tak melanjutkan ceritanya.
“Dan…apa, Jo?” sergahku cepat.
“Maaf, Mbak! Mas Yakob menikah lagi. Anaknya sudah satu!”
“Apa…?” Mendengar kabar itu, serasa ada suatu beban berat menimpa pundakku. Kepalaku terasa berat sekali. Dadaku sesak. Kaki dan tanganku bergetar tak beraturan. Sampai beberapa hari aku tak mau makan. Aku benar-benar sakit hati.
“Tapi…benarkah kabar itu? Sejahat itukah suamiku?” Aku ragu. Ada bimbang yang bergejolak di hatiku. Aku tak yakin kabar itu benar. “Aku baru percaya, kalau suamiku sendiri yang mengatakannya. Aku akan terus dan terus menunggu suamiku tercinta!” bisik hatiku.
Aku masih duduk di kursi kayu di beranda rumah. Seminggu lagi, genap empat puluh hari anakku, Purnama, dipanggil Sang Pencipta. Purnama, yah… itulah nama yang diberikan ayahnya. Dia memang lahir saat bulan sedang purnama. Anak laki-laki yang gagah. Tak tahu mengapa Dia memanggil Purnama, di usianya yang masih belia, tiga belas tahun.
“Entahlah..!” bisikku dalam hati.
Padahal, di hari saat anakku meninggal, Purnama begitu ceria. Sore itu, dia masih bermain kelereng di depan rumah. Tapi, tiba-tiba dia terjatuh. Tanpa ada sebab yang tak aku ketahui hingga kini. Ia tak sadarkan diri. Sampai tujuh hari ia terbaring koma di dipan rumah sakit. Tak ada penjelasan apa pun dari dokter yang merawatnya.
“Tapi, sudahlah! Aku yakin ini yang terbaik untuk Purnama,” desahku.
Aku masih duduk di kursi kayu di beranda rumah. Berteman bulan purnama yang telah penuh. Semburat mendung sedikit menggaris di tengah-tengahnya. Air dari mata sedikit menggaris di pipiku. Namun, tak mengurangi mataku yang terus menatap ke depan. Menjemput harapanku. Menanti cintaku.
“Bulan, titip salam buat Purnama dan suamiku tercinta!” desahku.